Sebuah refleksi
terhadap tulisan “Dari Adat ke
Multikultur : Menggagas Format Kebijakan yang Tepat Bagi Masyarakat/Komunitas
Lokal”oleh Indriaswati Dyah Saptaningrum
Masyarakat
adat dengan sederet keunikannya yang genius merupakan salah satu kekayaan yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kekayaan multikultural ini merupakan modal
sosial yang sangat berharga untuk membangun bangsa. Modal ini seakan menjadi
sirna ketika keanekaragaman yang di miliki tertaklukan oleh negara yang
melakukan sloganisasi. Upaya membangun kebanggaan sebagai bangsa yang multi
etnik dan selalu dikampanyekan di mana-mana, di satu sisi, tidak selaras dengan
perlakuan negara terhadap masyarakat adat tersebut, di sisi yang lain. Maka
menjadi nyata, sepanjang perjalanan bangsa ini, masyarakat adat menjadi
tersisih, bahkan bersiang di negeri sendiri.
“Bagi orang yang hidup
di kota, tidak masalah dengan hutan jika sudah hilang. Tapi bagi
masyarakat adat seperti kami sangat penting. Acara-acara adat sangat
bergantung dengan hasil hutan. Menghilangkan hutan, sama saja
menghilangkan budaya kami.”
–Asuy, tokoh masyarakat
Dayak Benuaq 2012–
Pernyataan
Pak Asuy di atas, menjelaskan betapa pentingnya hutan bagi masyarakat adat
Dayak Benuaq di Muara Tae, Kecamatan
Jempang, Kabupaten Kutai Barat,Kalimantan Timur. Tanah adalah tempat
mereka berladang, sungai adalah mediauntuk transportasi mereka, dan
hutan adalah lahan untuk mencari makan dan kebutuhan upacara adat.
Maraknya eksploitasi tambang batubara dan perkebunankelapa sawit skala
besar, membuat masyarakat adat seperti tergambar dalam
pernyataan Pak Asuy di atas merasa khawatir bahwa suatu
saat tanah adat merekaakan “dicaplok” oleh perusahaan.
Sejak Oktober 2011 sampai
saat ini, masyarakat Dayak Benuaq Muara Tae masih dihantui
ketakutan. Ini disebabkan oleh sengketa tapal batas dengan
perusahaan sawit yang berbatasan dengan area tanah adat mereka belum
juga kunjung selesai. Perusahaan PT. Munte Wanieq Jaya Perkasa mengklaim lahan
yang dimiliki warga Muara Tae sebagai tanah milik perusahaan yang sah. Konflik
ini tidak hanyamelibatkan masyarakat Muara Tae dengan perusahaan, tetapi
juga meluas ke konflik horisontal antara masyarakat Muara Tae dengan
warga kampung Ponak yang masih satu rumpun yaitu Benuaq. Sementara
itu, perusahaan juga mempekerjakan orang-orang dari NTT (Nusa Tenggara Timur),
orang Toraja dan juga orang-orang Bugis untuk menjaga lahan dan juga
peralatan-peralatan perusahaan di lapangan. Hal ini menjadikan konflik
horizontal menjadi sangat mudah tersulut, karena orang-orang yang menjaga lahan
perusahaan ini adalah para pendatang, yang dalam konteks saat ini di Kalimantan
Timur tensi konflik antara penduduk lokal (khususnya Dayak) dengan para
pendatang semakin meningkat. Di sisi lain, pemerintah yang harusnya
menjadifasilitator dalam konteks kasus
ini, malah kongkalikong dengan perusahaan denganmenerbitkan peta
yang menyatakan tanah adat masyarakat Muara Tae masuk dalam kawasan konsesi perusahaan.
Kasus
di atas merupakan salah satu contoh dari sekian banyak konflik tanah yang
terjadi di Kalimantan Timur. Perusahaan tambang maupun perusahaan sawit
sedikit demi sedikit menggerus dan menggerogoti kelompok masyarakat
adat. Mereka yang dulunya sangat menghargai hutan adat dan menjadi bagian
yang inheren dalam proses ritual adat,
sekarang diiming-imingi dengan materi agar mau menjual tanah adatnya.
Ironisnya, ketika tanah mereka habis dijual atau lebih parah lagi dicaplok
oleperusahaan, mereka lalu dimamfaatkan
sebagai laskar penjaga kepentingan perusahaan. Sehingga, jangan
heran kalau Anda sedang berada di Kalimantan Timur, lalu Anda melihat semacam mobil dinas
loreng-loreng atau satu kantor/sekretariat yang di sana tertulis “Laskar A
Resort Samarinda,” mengikuti hirarki ala birokrasi militer.
Pergulatan
identitas Dayak di Kalimantan Timur dengan berbagai macam
kelompok etnis atau agama yang berbeda atau bahkan dengan perusahaan tersebut
sampai hari ini terus terjadi. Tanah sebagai basis identitas Dayak
terus digerus oleh korporasi dan juga dalam tingkat
tertentu para migran (terutama Bugis dan Jawa). Akses mereka
terhadap tanah semakin kecil. Di sisi lain, hampir semua ruang
publik, baik ituekonomi maupun
di birokrasi dan politik, dan juga di dunia akademik dikuasai
oleh kelompok-kelompok pendatang ini. Akibatnya, terjadi kecemburuan sosial pada
kelompok komunitas lokal (Dayak) yang sangat berpotensi konflik. Konflik
di Kutai Barat antara Dayak-Bugis pada akhir tahun 2012,
kasus Tidung-Bugis du Tarakan 2011, kasus Dayak-Bugis di Balikpapan 2011
dan juga kasus Banjar-Dayak-Bugis-Jawa di Samarinda 2011, lalu adalah
refleksi dari endapan kecemburuan sosial tersebut. Celakanya lagi, para
pendatang selalu diidentifikasi beragama Islam dan komunitas lokal (Dayak)
beragama Kristen, sehingga bau konflik agama pun
kadang sulit dihindari. Padahal, kalau kita berkaca pada sejarah,
relasi Bugis-Dayak misalnyasudah terjalin sedemikian panjang. Banyak
orang Bugis yang menikah dengan orang Dayak dan beranak pinak di sana. Ada
pembagian peran antara masyarakat Dayak dan Bugis, di mana masyarakat
Dayak sangat diuntungkan dengan kedatangan orang Bugis yang sebagian
besarnya berprofesi sebagai pedagang.
Di
sisi lain, kebijakan pemerintah yang menggantungkan perekonomian
pada sektor tambang batubara dan perkebunan sawit skala besar
sangat berperan dalam penggerusan sistem pluralisme-multikulturalisme
(lokal) yang sudah lama ada dalam tatanan
masyarakat Dayak. Ekonomi ekstraktif dan perkebunan sawit yang dikembangkan
pemerintah pun justru berperan besar dalam merusak tatanan
sosial masyarakat lokal. Konflik
tanah terjadi di mana-mana. Dan ke depannya konflik-konflik
yang bersumber pada perebutan akses atas sumber daya alam ini, yang melibatkan
komunitas adat Dayak dan perusahaan (entah batubara atau sawit) akan
terus-menerus terjadi, bahkan eskalasinya akan semakin
massif, dan tentu saja juga pasti akan menyeret isu konflik antar etnik
(komunitas lokal dan pendatang) dan juga antar agama (Islam versus Kristen).
Dari
uraian diatas dapat dilihat bahwa kebijakan yang diambil pemerintah bukanlah
kebijakan yang tepat. Masih banyak kebijakan tersebut yang malah merugikan
masyarakat adat di suatu daerah. Di perlukan sebuah kebijakan yang dapat
melindungi hak masyarakat adat terhadap ancaman ekonomi maupun mayoritisasi
dari suatu kelompok dominan. Mempertegas hukum adat juga menjadi cara ampuh
untuk menjaga kelestarian masyarakat adat sesuai dengan kondisi adat suatu
daerah tertentu.
Tidak
ada yang menyangkal lagi bahwa hukum adat merupakan hukum tidak
tertulis yang hidup, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat (the
living law). Sadar atau tidaksetiap hari kita telah
melaksanakan nilai-nilai budaya hukum adat dalam berbagai aktivitassosial budaya di masyarakat dengan
mengimplementasikan kearifan lokal. Kegiatan gotong royong, tolong menolong,
musyawarah guna menyelesaikan suatu masalah merupakan contoh konkrit
pelaksanaan nilai-nilai budaya hukum adat. Bahkan dengan nilai-nilai
tersebut ternyata mampu menyelesaikan berbagai konflik di berbagai daerah
rawan konflik seperti di Sampit, Aceh, Poso dan Maluku.
Namun, ketika ditanyakan
apakah hukum adat itu maka ada berbagai macam jawaban. Hal ini menunjukkan bahwa sampai saat ini ada kontroversi
mengenai konsep hukum adat. Pada hal, seperti yang diungkapkan oleh Darmini
Mawardi (pakar hukum adat UGM) pada acara Kuliah Umum di Fakultas Hukum
UMY pada hari Selasa, 1 Mei 2007 (KR, tgl 3 Mei 2007, hal 17) bahwa hukum adat
masih sangat diperlukan. Hanya saja, agar hukum adat tetap eksis
dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan sistem hukum nasional
maka sangat mendesak untuk segera dilaksanakan pengkajian ulang terhadap
konsep-konsep hukum adat. Rekonseptualisasi tersebut tidak hanya
terhadap pengertian hukum adat saja tetapi juga terhadap substansi/
isi serta esensi hukum adat.
Budaya hukum
adat berisi faktor-faktor penentu untuk memperoleh
kedudukan/ tempat dan dapat diterima di dalam kerangka budaya
masyarakat Indonesia. Sedangkan fungsi budaya hukum adat
yaitu memberikan masukan dan keluaran proses pembuatan sistem hukum
Indonesia. Karakteristik fungsional budaya hukum adat adalah gagasan-gagasan
yang dominan, kecenderungan dan gayanya yang bersifat
menentang, melemahkan atau memperkuat sistem hukum Indonesia. Pada
mulanya budaya hukum di Indonesia adalah budaya hukum tidak
tertulis (unwritten law) atau budaya
hukum adat. Namun dalam perkembangannya, sebagai akibat
penjajahan Belanda, budaya hukum adat berubah menjadibudaya hukum tertulis.
Disatu sisi, dominasi hukum tertulis memberikan kepastian hukum dalam
menyelesaikan perkara. Namun di lain sisi, terjebak pada sifatnya yang
kaku sehinggasulit menjalankan fungsinya dalam memberikan jaminan keadilan
kepada masyarakat.
Peran hukum adat sebagai wujud budaya hukum Indonesia perlu
dioptimalkansejalan dengan semangat pelaksanaan reformasi. Hal ini telah
ditegaskan oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI tahun 1945, bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum
adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembanganmasyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam
undang-undang. Oleh karena itu, sangatlah mendesak dan perlu segera
dilaksanakan rekonseptualisasi hukum adat guna memberikan makna dan
semangat baru seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Rekonseptualisasi terhadap hukum adat bermanfaat ganda karena akan
berdampak positif bagi eksistensi dan perkembangan hukum adat di
masyarakat dan juga berdampak positif bagi pembangunan
citra hukum adat dalam dunia ilmu hukum. Rekonseptualisasi hukum adat
dapat diartikan sebagai upaya pemberian makna dan semangat baru terhadap hukum
adat terkait dengan kontroversi dalam masyarakat bahwa hukum
adat dewasa ini sedang mengalami krisis yang berkonotasi bahwa hukum
adat stagnant (mandeg) bahkan mundur.
Maka dari itu masih sangat di butuhkan perubahan-perubahan menuju
pembuatan hukum adat sebagai pelindung masyarakat adat dari ancaman luar.
Menjaga multikultural yang menjadi anugerah atas keberagaman bangsa kita.
Mencegah berbagai macam tindakan yang merugikan dan menyudutkan suatu adat
maupun budaya tertentu. Seperti halnya dengan Ahmadiyah yang selama ini
disudutkan dengan berasakan hukum yang berlaku secara nasional yang merupakan
suatu konsep dominasi negara terhadap apa yang benar sesuai dengan
undang-undang yang berlaku. Pembuatan hukum yang sensitif terhadap
multikulturalisme memang masih sangat sulit untuk di terapkan secara merata dan
di tegaskan secara makasimal. Keberagaman yang sangat banyak membutuhkan rekonseptualisasi
hukum untuk dapat sesuai dengan majemuk nya budaya di Indonesia. Dapat
diharapkan pun, hukum tersebut bisa memberikan dampak yang positif dan tidak
ada yang dirugikan. Sehingga semuanya dapat berjalan sesuai dengan kenyaman
bersama sehingga romantika multikulturalisme menjadi impian yang menjadi
kenyataan untuk Indonesia.
Daftar Pustaka
Wolandari,
Erma. 2013. Masyarakat adat dan problema
multikulturalisme di Kalimantan Timur. http://sosbud.kompasiana.com/
Vergouwen,
Jacob Cornelis. Masyarakat dan Hukum Adat
Batak Toba. http://books.google.co.id/books?id=SR8VTiyHvssC&pg=PR5&lpg=PR5&dq=adat+dan+multikultural&source=bl&ots=s2NjxbYVVp&sig=2tEFI6IAdg64icQyusyOdmo2mfM&hl=en&sa=X&ei=InJ5U9XxLYWgugSU6IHwAw&redir_esc=y#v=onepage&q=multikulturalisme&f=false
Tidak ada komentar:
Posting Komentar