Rabu, 06 Agustus 2014

Rekonseptualisasi Hukum Adat untuk Menjaga Romantika Multikulturalisme



Sebuah refleksi terhadap tulisan “Dari Adat ke Multikultur : Menggagas Format Kebijakan yang Tepat Bagi Masyarakat/Komunitas Lokal”oleh Indriaswati Dyah Saptaningrum

Masyarakat adat dengan sederet keunikannya yang genius merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kekayaan multikultural ini merupakan modal sosial yang sangat berharga untuk membangun bangsa. Modal ini seakan menjadi sirna ketika keanekaragaman yang di miliki tertaklukan oleh negara yang melakukan sloganisasi. Upaya membangun kebanggaan sebagai bangsa yang multi etnik dan selalu dikampanyekan di mana-mana, di satu sisi, tidak selaras dengan perlakuan negara terhadap masyarakat adat tersebut, di sisi yang lain. Maka menjadi nyata, sepanjang perjalanan bangsa ini, masyarakat adat menjadi tersisih, bahkan bersiang di negeri sendiri.
Konsep multikulturalisme merupakan jalan untuk melepaskan diri ketersisihan dan keterasingan ini. Berbalik dengan konsep “Monokulturalisme / interkulturalisme”, multikulturalisme mengagungkan perbedaan budaya atau keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme mengagungkan dan berusaha melindungi keanekaragaman budaya termasuk kebudayaan dari mereka yang tergolong minoritas (Parsudi Suparlan : 2001). Dalam pengertian multikulturalisme, sebuah masyarakat-bangsa dilihat sebagai sebuah kebudayaan bangsa yang merupakan mainstream, seperti sebuah mosaik dan di dalam kebudayaan bangsa tersebut.
“Bagi orang yang hidup di kota, tidak masalah dengan hutan jika sudah hilang. Tapi bagi masyarakat adat seperti kami sangat penting. Acara-acara adat sangat bergantung dengan hasil hutan. Menghilangkan hutan, sama saja menghilangkan budaya kami.”
–Asuy, tokoh masyarakat Dayak Benuaq 2012–
Pernyataan Pak Asuy di atas, menjelaskan betapa pentingnya hutan bagi masyarakat adat Dayak Benuaq di Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat,Kalimantan Timur. Tanah adalah tempat mereka berladang, sungai adalah mediauntuk transportasi mereka, dan hutan adalah lahan untuk mencari makan dan kebutuhan upacara adat. Maraknya eksploitasi tambang batubara dan perkebunankelapa sawit skala besar, membuat masyarakat adat seperti tergambar dalam pernyataan Pak Asuy di atas merasa khawatir bahwa suatu saat tanah adat merekaakan “dicaplok” oleh perusahaan.
Sejak Oktober 2011 sampai saat ini, masyarakat Dayak Benuaq Muara Tae masih dihantui ketakutan. Ini disebabkan oleh sengketa tapal batas dengan perusahaan sawit yang berbatasan dengan area tanah adat mereka belum juga kunjung selesai. Perusahaan PT. Munte Wanieq Jaya Perkasa mengklaim lahan yang dimiliki warga Muara Tae sebagai tanah milik perusahaan yang sah. Konflik ini tidak hanyamelibatkan masyarakat Muara Tae dengan perusahaan, tetapi juga meluas ke konflik horisontal antara masyarakat Muara Tae dengan warga kampung Ponak yang masih satu rumpun yaitu Benuaq. Sementara itu, perusahaan juga mempekerjakan orang-orang dari NTT (Nusa Tenggara Timur), orang Toraja dan juga orang-orang Bugis untuk menjaga lahan dan juga peralatan-peralatan perusahaan di lapangan. Hal ini menjadikan konflik horizontal menjadi sangat mudah tersulut, karena orang-orang yang menjaga lahan perusahaan ini adalah para pendatang, yang dalam konteks saat ini di Kalimantan Timur tensi konflik antara penduduk lokal (khususnya Dayak) dengan para pendatang semakin meningkat. Di sisi lain, pemerintah yang harusnya menjadifasilitator dalam konteks kasus ini, malah kongkalikong dengan perusahaan denganmenerbitkan peta yang menyatakan tanah adat masyarakat Muara Tae masuk dalam kawasan konsesi perusahaan.
Kasus di atas merupakan salah satu contoh dari sekian banyak konflik tanah yang terjadi di Kalimantan Timur. Perusahaan tambang maupun perusahaan sawit sedikit demi sedikit menggerus dan menggerogoti kelompok masyarakat adat. Mereka yang dulunya sangat menghargai hutan adat dan menjadi bagian yang inheren dalam proses ritual adat, sekarang diiming-imingi dengan materi agar mau menjual tanah adatnya. Ironisnya, ketika tanah mereka habis dijual atau lebih parah lagi dicaplok oleperusahaan, mereka lalu dimamfaatkan sebagai laskar penjaga kepentingan perusahaan. Sehingga, jangan heran kalau Anda sedang berada di Kalimantan Timur, lalu Anda melihat semacam mobil dinas loreng-loreng atau satu kantor/sekretariat yang di sana tertulis “Laskar A Resort Samarinda,” mengikuti hirarki ala birokrasi militer.
Pergulatan identitas Dayak di Kalimantan Timur dengan berbagai macam kelompok etnis atau agama yang berbeda atau bahkan dengan perusahaan tersebut sampai hari ini terus terjadi. Tanah sebagai basis identitas Dayak terus digerus oleh korporasi dan juga dalam tingkat tertentu para migran (terutama Bugis dan Jawa). Akses mereka terhadap tanah semakin kecil. Di sisi lain, hampir semua ruang publik, baik ituekonomi maupun di birokrasi dan politik, dan juga di dunia akademik dikuasai oleh kelompok-kelompok pendatang ini. Akibatnya, terjadi kecemburuan sosial pada kelompok komunitas lokal (Dayak) yang sangat berpotensi konflik. Konflik di Kutai Barat antara Dayak-Bugis pada akhir tahun 2012, kasus Tidung-Bugis du Tarakan 2011, kasus Dayak-Bugis di Balikpapan 2011 dan juga kasus Banjar-Dayak-Bugis-Jawa di Samarinda 2011, lalu adalah refleksi dari endapan kecemburuan sosial tersebut. Celakanya lagi, para pendatang selalu diidentifikasi beragama Islam dan komunitas lokal (Dayak) beragama Kristen, sehingga bau konflik agama pun kadang sulit dihindari. Padahal, kalau kita berkaca pada sejarah, relasi Bugis-Dayak misalnyasudah terjalin sedemikian panjang. Banyak orang Bugis yang menikah dengan orang Dayak dan beranak pinak di sana. Ada pembagian peran antara masyarakat Dayak dan Bugis, di mana masyarakat Dayak sangat diuntungkan dengan kedatangan orang Bugis yang sebagian besarnya berprofesi sebagai pedagang.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah yang menggantungkan perekonomian pada sektor tambang batubara dan perkebunan sawit skala besar sangat berperan dalam penggerusan sistem pluralisme-multikulturalisme (lokal) yang sudah lama ada dalam tatanan masyarakat Dayak. Ekonomi ekstraktif dan perkebunan sawit yang dikembangkan pemerintah pun justru berperan besar dalam merusak tatanan sosial masyarakat lokal. Konflik tanah terjadi di mana-mana. Dan ke depannya konflik-konflik yang bersumber pada perebutan akses atas sumber daya alam ini, yang melibatkan komunitas adat Dayak dan perusahaan (entah batubara atau sawit) akan terus-menerus terjadi, bahkan eskalasinya akan semakin massif, dan tentu saja juga pasti akan menyeret isu konflik antar etnik (komunitas lokal dan pendatang) dan juga antar agama (Islam versus Kristen).
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa kebijakan yang diambil pemerintah bukanlah kebijakan yang tepat. Masih banyak kebijakan tersebut yang malah merugikan masyarakat adat di suatu daerah. Di perlukan sebuah kebijakan yang dapat melindungi hak masyarakat adat terhadap ancaman ekonomi maupun mayoritisasi dari suatu kelompok dominan. Mempertegas hukum adat juga menjadi cara ampuh untuk menjaga kelestarian masyarakat adat sesuai dengan kondisi adat suatu daerah tertentu.
Tidak ada yang menyangkal lagi bahwa hukum adat merupakan hukum tidak tertulis yang hidup, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat (the living law). Sadar atau tidaksetiap hari kita telah melaksanakan nilai-nilai budaya hukum adat dalam berbagai aktivitassosial budaya di masyarakat dengan mengimplementasikan kearifan lokal. Kegiatan gotong royong, tolong menolong, musyawarah guna menyelesaikan suatu masalah merupakan contoh konkrit pelaksanaan nilai-nilai budaya hukum adat. Bahkan dengan nilai-nilai tersebut ternyata mampu menyelesaikan berbagai konflik di berbagai daerah rawan konflik seperti di Sampit, Aceh, Poso dan Maluku.
Namun, ketika ditanyakan apakah hukum adat itu maka ada berbagai macam jawaban. Hal ini menunjukkan bahwa sampai saat ini ada kontroversi mengenai konsep hukum adat. Pada hal, seperti yang diungkapkan oleh Darmini Mawardi (pakar hukum adat UGM) pada acara Kuliah Umum di Fakultas Hukum UMY pada hari Selasa, 1 Mei 2007 (KR, tgl 3 Mei 2007, hal 17) bahwa hukum adat masih sangat diperlukan. Hanya saja, agar hukum adat tetap eksis dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan sistem hukum nasional maka sangat mendesak untuk segera dilaksanakan pengkajian ulang terhadap konsep-konsep hukum adat. Rekonseptualisasi tersebut tidak hanya terhadap pengertian hukum adat saja tetapi juga terhadap substansi/ isi serta esensi hukum adat.
Budaya hukum adat berisi faktor-faktor penentu untuk memperoleh kedudukan/ tempat dan dapat diterima di dalam kerangka budaya masyarakat Indonesia. Sedangkan fungsi budaya hukum adat yaitu memberikan masukan dan keluaran proses pembuatan sistem hukum Indonesia. Karakteristik fungsional budaya hukum adat adalah gagasan-gagasan yang dominan, kecenderungan dan gayanya yang bersifat menentang, melemahkan atau memperkuat sistem hukum Indonesia. Pada mulanya budaya hukum di Indonesia adalah budaya hukum tidak tertulis (unwritten law) atau budaya hukum adat. Namun dalam perkembangannya, sebagai akibat penjajahan Belanda, budaya hukum adat berubah menjadibudaya hukum tertulis. Disatu sisi, dominasi hukum tertulis memberikan kepastian hukum dalam menyelesaikan perkara. Namun di lain sisi, terjebak pada sifatnya yang kaku sehinggasulit menjalankan fungsinya dalam memberikan jaminan keadilan kepada masyarakat.
Peran hukum adat sebagai wujud budaya hukum Indonesia perlu dioptimalkansejalan dengan semangat pelaksanaan reformasi. Hal ini telah ditegaskan oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI tahun 1945, bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembanganmasyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, sangatlah mendesak dan perlu segera dilaksanakan rekonseptualisasi hukum adat guna memberikan makna dan semangat baru seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Rekonseptualisasi terhadap hukum adat bermanfaat ganda karena akan berdampak positif bagi eksistensi dan perkembangan hukum adat di masyarakat dan juga berdampak positif bagi pembangunan citra hukum adat dalam dunia ilmu hukum. Rekonseptualisasi hukum adat dapat diartikan sebagai upaya pemberian makna dan semangat baru terhadap hukum adat terkait dengan kontroversi dalam masyarakat bahwa hukum adat dewasa ini sedang mengalami krisis yang berkonotasi bahwa hukum adat stagnant (mandeg) bahkan mundur.
Maka dari itu masih sangat di butuhkan perubahan-perubahan menuju pembuatan hukum adat sebagai pelindung masyarakat adat dari ancaman luar. Menjaga multikultural yang menjadi anugerah atas keberagaman bangsa kita. Mencegah berbagai macam tindakan yang merugikan dan menyudutkan suatu adat maupun budaya tertentu. Seperti halnya dengan Ahmadiyah yang selama ini disudutkan dengan berasakan hukum yang berlaku secara nasional yang merupakan suatu konsep dominasi negara terhadap apa yang benar sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Pembuatan hukum yang sensitif terhadap multikulturalisme memang masih sangat sulit untuk di terapkan secara merata dan di tegaskan secara makasimal. Keberagaman yang sangat banyak membutuhkan rekonseptualisasi hukum untuk dapat sesuai dengan majemuk nya budaya di Indonesia. Dapat diharapkan pun, hukum tersebut bisa memberikan dampak yang positif dan tidak ada yang dirugikan. Sehingga semuanya dapat berjalan sesuai dengan kenyaman bersama sehingga romantika multikulturalisme menjadi impian yang menjadi kenyataan untuk Indonesia.

Daftar Pustaka
Wolandari, Erma. 2013. Masyarakat adat dan problema multikulturalisme di Kalimantan Timur. http://sosbud.kompasiana.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar