Rabu, 06 Agustus 2014

Akankah Asean Economic Community 2015 Memperburuk Konsep Multikulturalisme di Indonesia ?


Sebuah Refleksi Kesiapan Bangsa Indonesia Menghadapi Asean Economic Community 2015 dalam Konteks Multikulturalisme
Oleh :
Cecilia Pretty Grafiani
120904564
Kapita Selekta (A)

Masalah Multikulturalisme di Indonesia
Baru-baru ini tindak kekerasan dan intoleransi beragama terjadi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jemaat Santo Fransiscus Agung Gereja Banteng, Ngaglik, Sleman, yang sedang beribadah diserang oleh sekelompok pria bergamis bersenjata tajam. Kejadian itu terjadi pada Kamis malam, 29 Mei 2014. Acara kebaktian digelar di rumah Direktur Galang Press Julius Felicianus, 54 tahun, di Perumahan YKPN Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Yogyakarta. Julius dikeroyok oleh banyak orang bergamis. Akibatnya, ia mengalami luka di kepala dan tulang punggungnya retak. "Luka sudah dijahit, tulang punggung sebelah kiri patah, dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih," kata Julius, Jumat, 30 Mei 2014. (Tempo.co, 30 Mei 2014)
Dari berita di atas dapat dilihat bahwa sudah semakin turunnya tingkat toleransi masyarakat terhadap keberagaman baik itu budaya maupun agama. Berita tersebut menunjukan semakin terkikisnya rasa tenggang rasa antar sesama umat beragama. Kebebasan memeluk agama yang terdapat dalam UUD 1945 pasal 29 telah banyak tidak terjalankan dengan baik. Tidak hanya Bapak Julius saja yang di serang dan diusik ketika melakukan ibadah, tetapi juga beberapa kejadian lalu seperti jemaat Ahmadiah, jemaat Kristen di Bekasi yang kebebasan mereka di usik karena kepentingan akan pemikiran seseorang yang merusak keharmonisan dalam hidup beragama yang plural dalam suatu negara.

Konflik mengenai isu sara yang terjadi, bukanlah hal pertama di Indonesia. Bukti-bukti adanya konflik sulit di tepis, kasus antara Madura dan Dayak, kasus minoritas (Tionghoa) dan mayoritas (Jawa Sunda),  kasus agama di Poso dan Maluku, maupun yang belakangan muncul konflik antar Ahmadiyah dan kelompok muslim garis keras (Front Pembela Islam, Forum Umat dan Ulama Indonesia, Islam Reformis dan sekelompok Islam ideologis keras lainnya). Fakta bahwa Indonesia termasuk negara multikultural sangat nyata. Akan tetapi, sampai saat ini pemerintah dan rakyat sangat sulit mengatasi konflik-konflik horizontal yang sangat mungkin timbul. Tampak jelas pemerintah belum memiliki konsep serta cara yang jelas dan tegas tentang bagaimana mencegah potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat muncul. Kebijakan Orde Baru di dalam menangani konflik dengan cara yang represif belum membawa pemecahan yang nyata, malah membawa dan menanamkan potensi konflik yang baru. Sebagai contoh adalah lepasnya Timor-Timur yang menjadi negara baru yaitu Timor Leste. Kemudian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diakomodir jadi salah satu partai politik lokal dan turut dalam pemilu lokal di Aceh. Meskipun separatisme di NAD dapat diselesaikan, tetapi separatisme di Papua Barat menjadi kendala besar negara.
Keterangan tersebut mengingatkan bahwa Indonesia tidak dalam keadaan yang baik-baik saja. Tidak hanya isu agama, isu kebudayaan dan gerakan-gerakan lainnya yang ingin memisahkan diri dengan Indonesia menjadi sejarah maupun tantangan Indonesia kedepannya. Potensi sebagai negara multikultural menjadikan Indonesia harus tetap berjuang untuk mempersatukan mereka yang tercerai dan tersingkirkan.
Multikulturalisme mungkin menjadi konsep yang sangat sempurna ketika ini diberlakukan di Indonesia. Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran atau paham).  Secara hakiki, kata tersebut mengandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik. Dengan demikian setiap individu merasa dihargai sekaligus bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus di persamakan atau setidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep dengan konsep yang lainnya. Karena multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.
Bangsa Indonesia termasuk menganut multikulturalisme yang tercermin dalam simbol Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan suatu pengakuan terhadap heterogenitas etnik, budaya, ras, agama dan gender.  Multikulturalisme menjadi suatu kebutuhan bersama apabila kita mengakui realitas heterogenitas dalam masyarakat. Dalam konteks inilah peran serta masyarakat sangat penting untuk mendorong agar kemajemukan di Indonesia dapat tampil sebagai kekuatan untuk membangun bangsa dan negara.
Multikulturalisme berbeda dari konsep pluralisme, dimana pluralisme menekankan keanekaragaman suku dan budaya sehingga setiap kebudayaan dipandang sebagai entitas yang distinktif, sedangkan multikulturalisme lebih menekankan relasi antar kebudayaan, dengan pengertian bahwa keberadaan suatu kebudayaan harus mempertimbangkan keberadaan kebudayaan yang lain.
Konsep Multikulturalisme yang dijelaskan tersebut juga sejalan dengan adanya Pancasila di Indonesia. Namun, bagaimana dengan adanya kasus-kasus yang membuat multikulturalisme ini menjadi angan-angan belaka bagi Indonesia. Khususnya dengan pemberitaan mengenai penyerangan oleh sekelompok orang kepada mereka yang sedang beribadah. Sedangkan multikulturalisme sendiri lebih menekankan relasi antar kebudayaan maupun antar umat beragama.
Perkembangan paham multikulturalisme sangat memprihatinkan sekali. Kasus-kasus konflik yang kerap mewarnai pemberitaan media cukup membuktikan bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia belum punya kesadaran akan hal toleransi terhadap budaya lain. Hendaknya ditingkatkan lagi untuk membuat Indonesia sadar bahwa keberagaman yang menjadi salah satu potensi yang kuat jika digunakan dan di manfaatkan dengan baik.
Refleksi Indonesia dalam Menghadapi Asean Economic Community 2015 dalam Hal Multikulturalisme
Asean Economic Community 2015 bertujuan tidak lain untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN. Dengan terbentuknya ASEAN Community diharapkan akan bisa mengatasi masalah-masalah dalam bidang perekonomian antar negara ASEAN (www.asean.gunklaten.com) . ASEAN Economic Community yang dibentuk dengan misi menjadikan perekonomian di ASEAN menjadi lebih baik serta mampu bersaing dengan negara-negara yang perekonomiannya lebih maju dibandingkan dengan kondisi Negara ASEAN saat ini. Selain itu juga dengan terwujudnya ASEAN Community yang dimana di dalamnya terdapat AEC, dapat menjadikan posisi ASEAN menjadi lebih strategis di kancah internasional, kita mengharapkan dengan  dengan terwujudnya komunitas masyarakat ekonomi ASEAN ini dapat membuka mata semua pihak, sehingga terjadi suatu dialog antar sektor yang dimana nantinya juga saling melengkapi diantara para stakeholder sektor ekonomi di negara-negara ASEAN ini sangat penting (http://writing-contest.bisnis.com).
AEC akan diarahkan kepada pembentukan sebuah integrasi ekonomi kawasan dengan mengurangi biaya transaksi perdagangan, memperbaiki fasilitas perdagangan dan bisnis, serta meningkatkan daya saing sektor UMKM. Pemberlakuan AEC 2015 bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur, berdaya saing tinggi, dan secara ekonomi terintegrasi dengan regulasi efektif untuk perdagangan dan investasi, yang di dalamnya terdapat arus bebas lalu lintas barang, jasa, investasi, dan modal serta difasilitasinya kebebasan pergerakan pelaku usaha dan tenaga kerja (www.setneg.go.id).

Salah satu dari tiga pilar AEC adalah mengenai Socio Cultural di ASEAN. Tujuan dibentuknya Komunitas Sosial dan Budaya ASEAN untuk memajukan dan mensejahterakan antar negara ASEAN dalam bidang sosial, kebudayaan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesehatan dan masalah seputar sosial budaya. Selain itu Komunitas Sosial dan Budaya ASEAN ini juga akan menciptakan masyarakat yang beradab, saling menjaga toleransi antar negara ASEAN, saling menghormati, menciptakan rasa persodaraan yang lebih kuat serta menjungjung tinggi rasa kemanusiaan antar negara ASEAN (asean.gunklaten.com). Jadi dengan terbentuknya Komunitas Sosial dan Budaya ASEAN diharapkan akan menjawab permasalahan yang ada. Misalkan kasus klaim kebudayaan suatu bangsa antar negara ASEAN, hal tersebut akan diselesaikan dengan Komunitas Sosial dan Budaya ASEAN.  Jadi dengan terbentuknya Komunitas Sosial dan Budaya ASEAN nantinya diharapkan sesama warga ASEAN bisa saling menjaga tali persaudaraan dan menjunjung tinggi rasa sosial kemanusiaan antar warga ASEAN.
Dari kejadian mengenai multikulturalisme yang terjadi di Indonesia, penulis ingin memberikan refleksi bagaimana ketika kejadian ini akan menjadi sangat luas ketika Asean Economic Community 2015 yang per 1 Januari 2015 nanti akan berlangsung. AEC 2015 menjadikan ruang lingkup negara semakin tidak terbatas. Begitu banyak orang-orang dari negara di ASEAN akan berdatangan ke Indonesia dan Yogyakarta secara khususnya. Budaya serta agama yang banyak di Indonesia saja masih sering terjadi konflik, dan bagaimana Indonesia ketika menghadapi AEC 2015 yang sangat mungkin budaya lain masuk ke daerah Indonesia. Semakin banyak dan berkembang tentunya. Akankah terjadi konflik? Hal ini masih menjadi teka-teki akan bagaimana Indonesia menghadapinya. Kejadian yang serupa tidak akan terjadi ketika banyak pihak yang turut ikut campur dalam mendidik Indonesia menjaga martabat baik dengan sikap toleransi, menghargai dan tenggang rasa terhadap budaya maupun agama orang lain yang nantinya akan lebih banyak bermunculan budaya dan agama di luar Indonesia. 
AEC 2015 yang akan segera berlaku ini menjadi dua sisi mata uang yang akan memberikan keuntungan ataupun kerugian bagi Indonesia. Tanpa melihat bagaimana pertumbuhan ekonomi, sudut pandang yang akan lebih di bahas mengenai sosial dan budaya yang akan terjadi di Indonesia. Pertengkaran antar sesama rakyat Indonesia yang beda agama, suku dan ras masih sering terjadi, bagaimana dengan suku, agama dan ras dari berbagai negara ASEAN yang nantinya akan keluar masuk di Indonesia. Mungkin akan terjadi penggusuran, perkelahian, penghinaan, dan penghujatan terhadap satu budaya, suku, ras dari salah satu negara di ASEAN yang datang ke Indonesia.
Ketakutan akan semakin menurunnya rasa toleransi dan menghormati terhadap budaya, agama, suku dan ras dapat membuat Indonesia lepas kontrol dan mungkin akan membuat negara-negara lain takut untuk berkunjung ke Indonesia karena banyaknya konflik yang menyangkut budaya, agama, suku dan ras. Hal ini patut untuk menjadi refleksi bersama bagaimana untuk melakukan tindakan preventif sebelum AEC 2015 berlangsung. Pemikiran kritis terhadap tindakan preventif ini harus direalisasikan dengan baik agar nantinya dapat melakukan pencegahan sehingga apa yang dikhawatirkan tidak dapat terjadi.

Tindakan Preventif yang Telah Dilakukan dalam Menghadapi Krisis Multikulturalisme di Indonesia
           
"Semakin banyak tantangan di Indonesia. Makin banyak terjadi kekerasan atas nama agama," ujar Yenny dalam seminar "Fundamental Rights in the European Union: Lesson Learned for Indonesia" di kantor PBNU, Jakarta, Senin, 14 April 2014. Dia menegaskan pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu membekali diri dengan kemampuan beradaptasi untuk mengelola perbedaan agama ataupun aliran-aliran kepercayaan. Pentingnya toleransi beragama sebagai suatu hak asasi manusia sudah mulai disadari oleh negara-negara Eropa dan Indonesia. Arif Havas Oegroseno, Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa, mengatakan belum lama ini parlemen Eropa telah meratifikasi Kerangka Kerja Perjanjian Kemitraan Komprehensif Indonesia-Uni Eropa. "Dalam perjanjian itu diatur sepuluh elemen kerja sama, termasuk hak asasi dan kehidupan antaragama," katanya. Bahkan, untuk memulai kerja sama tersebut, Indonesia mengirim cendekiawan Islam dari Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, ke Belgia. Azyumardi dikirim untuk membantu membuat kurikulum teologi Islam di universitas katolik bernama Katholieke Universiteit yang terletak di Kota Leuven. (Tempo.co,14 April 2014)
Dari cuplikan berita tersebut, dapat dilihat bahwa kekhawatiran akan pentingnya pengertian multikulturalisme yang tidak hanya sekedar mengerti tetapi juga paham dan bisa mewujdukan indahnya keberagaman, hidup berelasi antar satu dengan yang lain harus terus di bina dengan baik. Terbukti dengan tindakan nyata yang mengirimkan salah seorang cendekiawan belajar ke universitas di Belgia untuk membuat kurikulum teologi Islam di Universitas Katolik. Dengan melakukan pembelajaran saling bertukar pandangan mengenai masa depan Indonesia ini dengan dunia luar dapat membuat Indonesia belajar. Ibarat melakukan “pencerminan” yang kemudian dengan  tanggapan dan apa yang dilihat dalam cermin tersebut dapat menjadi masukan bagi Indonesia kedepannya untuk menjadi Indonesia yang lebih baik. Belajar menjadi lebih baik ini mungkin menjadi abstrak, dan ketika belajar dari pengalaman negara lain dalam menghadapi permasalahan yang sama, mengikuti cara disintegrasi yang dilakukan Uni Sovyet atau tetap berjalan pada rel kesatuan yang telah di konsep oleh Soekarno sejak dulu. Hal tersebut akan menjadi masukan dan bahan pemikiran kritis akan jati diri Indonesia. Selain mengirimkan cendekiawan untuk kembali menuntut ilmu, pembentukan sebuah organisasi dan kumpulan peneliti juga terus digalakkan.
Sebagai kawasan yang pluralistik, multi-etnik, dan multi-agama, Asia  Tenggara merupakan kawah candra di muka dalam pengelolaan keberagamaan agama dan multikulturalisme. Di satu sisi, agama bisa menjadi modal social bagi upaya mewujudkan transformasi sosial yang positif di kawasan ini. Tapi di sisi lain,  semakin kuatnya pengaruh agama di ranah publik memunculkan persoalan sosial seperti intoleransi, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan konflik sosial-keagamaan.
Berangkat dari latar belakang ini, Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), yang beranggotakan UGM, UIN Sunan Kalijaga, dan UKDW, menggelar Konferensi Internasional tentang “Agama, Kebijakan Publik, dan Transformasi Sosial di Asia Tenggara,” bertempat di The Phoenix Hotel, Kamis (20/3/2014). Konferensi mengungkap pengalaman dan pengelolaan negara-negara di  Asia Tenggara menghadapi persoalan keberagaman agama. (KRJogja.com, 20 Maret 2014)
Acara ini merupakan bagian dari riset kolaboratif yang didukung oleh The Henry Luce Foundation, New York, yang melibatkan delapan negara Asia Tenggara, yakni Indonesia, Singapura, Filipina, Malaysia, Vietnam, Thailand, Myanmar, Kamboja, dan juga Amerika Serikat. Konferensi ini bertujuan untuk memberikan platform bagi akumulasi pemikiran dan pengetahuan tentang pengelolaan keberagaman agama baik di tingkat nasional maupun regional dan menghadirkan para ahli agama di AsiaTenggara dan Amerika Serikat yang terlibat dalam riset kolaboratif Sembilan Negara tentang Agama, Kebijakan Publik, dan Transformasi Sosial di Asia Tenggara. Dalam pidato yang dibacakan oleh perwakilannya di konferensi tersebut, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan bahwa dialog untuk membangun harmoni hubungan antar agama hanya bisa diwujudkan bila disertai dengan penghormatan akan keberagaman agama, etnik dan budaya di Indonesia. 
Sementara itu Theodore Lyng, Penasihat Politik Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, mengatakan bahwa konferensi ini bisa menjawab pertanyaan bagaimana nilai-nilai agama bisa masuk ke ranah kebijakan public dan relasi antar-bangsa tanpa harus melahirkan dominasi dan apalagi kekerasan. Pada konferensi ini, para peneliti memaparkan hasil penelitiannya selama setahun tentang pengelolaan keberagaman agama di negaranya masing-masing, seperti isu pluralisme agama dan hubungannya dengan pendidikan agama dan multikulturalisme, kesenjangan mayoritas-minoritas, politik dominasi dan isu-isu terkait lainnya.Hasil penelitian yang dipresentasikan dalam konferensi tersebut nantinya akan dibukukan dalam bentuk Policy-Relevant Papers, dan diharapkan bisa menjadi masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan publik yang mengarah pada terwujudnya transformasi sosial di Asia Tenggara. Maufur, Program Manager, mengatakan bahwa setelah konferensi ini dilangsungkan, nantinya akan diadakan dua lagi konferensi internasional serupa masing-masing di Washington D.C. dan Bangkok.
Riset yang akan dilakukan ini juga akan membantu dalam melakukan tindakan preventif yang berguna bagi Indonesia maupun negara lainnya dalam menghadapi AEC 2015. Karena ketakutan akan hal ini mungkin tidak hanya dialami Indonesia tetapi negara ASEAN lainnya.
Tindakan nyata lainnya dalam mendidik masyarakat dalam hal multikulturalisme adalah dengan peluncuran buku-buku yang mengupas mengenai multikulturalisme di daerahnya. Penerbitan buku tersebut dirasa sangat perlu, mengingat bahwa sedikitnya buku yang membahas mengenai multikulturalisme. Pendidikan multikulturalisme menjadi sangat penting melalui buku-buku yang telah di terbitkan.
Dalam menghadapi pluralisme budaya menurut Choirul Mahfud, diperlukan paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan multikultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis maupun agama. Paradigma ini dimaksudkan bahwa kita hendaknya apresiatif terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keragaman merupakan kekayaan dan khazanah bangsa kita. Dengan adanya pandangan tersebut, diharapkan sikap ekslusivisme yang selama ini bersemayam dalam fikiran kita dan sikap membenarkan pandangan sendiri  (truth claim), dengan menyalahkan pandangan dan pilihan orang lain dapat dihilangkan atau diminimalisir. Pendidikan multikultural disini, dimaksudkan bahwa manusia dipandang sebagai makhluk makro dan sekaligus mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya.
Ciri-ciri pendidikan multikulturalisme, diantaranya:
  1. Tujuannya membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat berbudaya (peradaban)
  2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai  bangsa dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural).
  3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multukulturalis).
  4. Evaluasinya ditentukan pada penilaiaan terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apreseasi dan tindakan terhadap budaya lain.
Dari ciri-ciri tersebut dapat menjadi patokan bagi mereka yang ingin mengembangkan dan mendidik masyarakat mengenai multikulturalisme. Dari semua tindakan prefentif yang dilakukan diharapkan dapat membuat Indonesia menjadi kuat dan dapat melewati AEC 2015 tanpa ragu dan tetap menjunjung tinggi keberagaman yang bertoleransi.
Jadi, pelajarilah kemampuan diri dalam membangun relasi dengan orang lain. Tumbuhkan sikap toleransi, saling menghormati terhadap budaya, ras, suku maupun agama yang berbeda. Perjuangkanlah terus karena multikulturalisme hadir menjadi sebuah kebiasaan baik jika di mulai dari sekarang !




Daftar Pustaka
Dawam, Ainurrofiq. 2003. Emoh Sekolah Menolak  Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual menuju Pendidikan Multikultural. (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press)
Mahfud, Choirul. 2009. Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Tempo.co. 2014. Umat Katolik di Sleman Di serang Kelompok Bergamis.  Minggu,15 Juni 2014 http://www.tempo.co/read/news/2014/05/30/078581172/Umat-Katolik-di-Sleman-Diserang-Kelompok-Bergamis

Tempo.co. 2014. Kasus Intoleransi di Indonesia dalam Setahun. Minggu, 15 Juni 2014 http://www.tempo.co/read/news/2014/04/15/078570722/245-Kasus-Intoleransi-di-Indonesia-Dalam-Setahun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar