Sebuah Refleksi Kesiapan Bangsa
Indonesia Menghadapi Asean Economic Community 2015 dalam Konteks
Multikulturalisme
Oleh :
Cecilia Pretty Grafiani
120904564
Kapita Selekta (A)
Masalah Multikulturalisme di
Indonesia
Baru-baru ini tindak kekerasan dan intoleransi beragama terjadi di
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jemaat Santo Fransiscus Agung Gereja
Banteng, Ngaglik, Sleman, yang sedang beribadah diserang oleh sekelompok pria
bergamis bersenjata tajam. Kejadian
itu terjadi pada Kamis malam, 29 Mei 2014. Acara kebaktian digelar di rumah
Direktur Galang Press Julius Felicianus, 54 tahun, di Perumahan YKPN
Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Yogyakarta. Julius dikeroyok
oleh banyak orang bergamis. Akibatnya, ia mengalami luka di kepala dan tulang
punggungnya retak. "Luka sudah dijahit, tulang punggung sebelah kiri
patah, dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih," kata Julius, Jumat, 30 Mei
2014. (Tempo.co, 30 Mei
2014)
Dari berita di atas dapat dilihat bahwa sudah semakin
turunnya tingkat toleransi masyarakat terhadap keberagaman baik itu budaya
maupun agama. Berita tersebut menunjukan semakin terkikisnya rasa tenggang rasa
antar sesama umat beragama. Kebebasan memeluk agama yang terdapat dalam UUD
1945 pasal 29 telah banyak tidak terjalankan dengan baik. Tidak hanya Bapak
Julius saja yang di serang dan diusik ketika melakukan ibadah, tetapi juga
beberapa kejadian lalu seperti jemaat Ahmadiah, jemaat Kristen di Bekasi yang
kebebasan mereka di usik karena kepentingan akan pemikiran seseorang yang
merusak keharmonisan dalam hidup beragama yang plural dalam suatu negara.
Konflik mengenai isu sara yang terjadi, bukanlah hal pertama di Indonesia. Bukti-bukti adanya konflik sulit di tepis, kasus antara Madura dan Dayak, kasus minoritas (Tionghoa) dan mayoritas (Jawa Sunda), kasus agama di Poso dan Maluku, maupun yang belakangan muncul konflik antar Ahmadiyah dan kelompok muslim garis keras (Front Pembela Islam, Forum Umat dan Ulama Indonesia, Islam Reformis dan sekelompok Islam ideologis keras lainnya). Fakta bahwa Indonesia termasuk negara multikultural sangat nyata. Akan tetapi, sampai saat ini pemerintah dan rakyat sangat sulit mengatasi konflik-konflik horizontal yang sangat mungkin timbul. Tampak jelas pemerintah belum memiliki konsep serta cara yang jelas dan tegas tentang bagaimana mencegah potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat muncul. Kebijakan Orde Baru di dalam menangani konflik dengan cara yang represif belum membawa pemecahan yang nyata, malah membawa dan menanamkan potensi konflik yang baru. Sebagai contoh adalah lepasnya Timor-Timur yang menjadi negara baru yaitu Timor Leste. Kemudian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diakomodir jadi salah satu partai politik lokal dan turut dalam pemilu lokal di Aceh. Meskipun separatisme di NAD dapat diselesaikan, tetapi separatisme di Papua Barat menjadi kendala besar negara.
Keterangan tersebut mengingatkan bahwa Indonesia tidak dalam
keadaan yang baik-baik saja. Tidak hanya isu agama, isu kebudayaan dan
gerakan-gerakan lainnya yang ingin memisahkan diri dengan Indonesia menjadi
sejarah maupun tantangan Indonesia kedepannya. Potensi sebagai negara
multikultural menjadikan Indonesia harus tetap berjuang untuk mempersatukan
mereka yang tercerai dan tersingkirkan.
Multikulturalisme mungkin menjadi konsep yang sangat sempurna
ketika ini diberlakukan di Indonesia. Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara
etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur
(budaya), dan isme (aliran atau paham). Secara hakiki, kata tersebut
mengandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan
kebudayaan masing-masing yang unik. Dengan demikian setiap individu merasa
dihargai sekaligus bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengertian
kebudayaan diantara para ahli harus di persamakan atau setidaknya tidak
dipertentangkan antara satu konsep dengan konsep yang lainnya. Karena
multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk
meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya, maka konsep kebudayaan harus
dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.
Bangsa Indonesia termasuk menganut
multikulturalisme yang tercermin dalam simbol Bhinneka Tunggal Ika yang
merupakan suatu pengakuan terhadap heterogenitas etnik, budaya, ras, agama dan
gender. Multikulturalisme menjadi suatu kebutuhan bersama apabila kita
mengakui realitas heterogenitas dalam masyarakat. Dalam konteks inilah peran
serta masyarakat sangat penting untuk mendorong agar kemajemukan di Indonesia
dapat tampil sebagai kekuatan untuk membangun bangsa dan negara.
Multikulturalisme
berbeda dari konsep pluralisme, dimana pluralisme menekankan keanekaragaman
suku dan budaya sehingga setiap kebudayaan dipandang sebagai entitas yang
distinktif, sedangkan multikulturalisme lebih menekankan relasi antar
kebudayaan, dengan pengertian bahwa keberadaan suatu kebudayaan harus
mempertimbangkan keberadaan kebudayaan yang lain.
Konsep
Multikulturalisme yang dijelaskan tersebut juga sejalan dengan adanya Pancasila
di Indonesia. Namun, bagaimana dengan adanya kasus-kasus yang membuat
multikulturalisme ini menjadi angan-angan belaka bagi Indonesia. Khususnya
dengan pemberitaan mengenai penyerangan oleh sekelompok orang kepada mereka
yang sedang beribadah. Sedangkan multikulturalisme sendiri lebih menekankan
relasi antar kebudayaan maupun antar umat beragama.
Perkembangan paham multikulturalisme sangat memprihatinkan
sekali. Kasus-kasus konflik yang kerap mewarnai pemberitaan media cukup
membuktikan bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia belum punya kesadaran akan hal toleransi
terhadap budaya lain. Hendaknya ditingkatkan lagi untuk membuat Indonesia sadar
bahwa keberagaman yang menjadi salah satu potensi yang kuat jika digunakan dan
di manfaatkan dengan baik.
Refleksi Indonesia dalam Menghadapi Asean Economic Community
2015 dalam Hal Multikulturalisme
Asean Economic
Community 2015 bertujuan tidak lain untuk meningkatkan stabilitas perekonomian
di kawasan ASEAN. Dengan terbentuknya ASEAN Community
diharapkan akan bisa mengatasi masalah-masalah dalam bidang perekonomian antar
negara ASEAN (www.asean.gunklaten.com) . ASEAN Economic Community yang dibentuk dengan
misi menjadikan perekonomian di ASEAN menjadi lebih baik serta mampu bersaing
dengan negara-negara yang perekonomiannya lebih maju dibandingkan dengan
kondisi Negara ASEAN saat ini. Selain itu juga dengan terwujudnya ASEAN Community yang dimana di dalamnya
terdapat AEC, dapat menjadikan posisi ASEAN menjadi lebih strategis di kancah internasional,
kita mengharapkan dengan dengan terwujudnya komunitas masyarakat ekonomi
ASEAN ini dapat membuka mata semua pihak, sehingga terjadi suatu dialog antar
sektor yang dimana nantinya juga saling melengkapi diantara para stakeholder sektor ekonomi di
negara-negara ASEAN ini sangat penting (http://writing-contest.bisnis.com).
AEC
akan diarahkan kepada pembentukan sebuah integrasi ekonomi kawasan dengan
mengurangi biaya transaksi perdagangan, memperbaiki fasilitas perdagangan dan
bisnis, serta meningkatkan daya saing sektor UMKM. Pemberlakuan AEC 2015
bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil,
makmur, berdaya saing tinggi, dan secara ekonomi terintegrasi dengan regulasi
efektif untuk perdagangan dan investasi, yang di dalamnya terdapat arus bebas
lalu lintas barang, jasa, investasi, dan modal serta difasilitasinya kebebasan
pergerakan pelaku usaha dan tenaga kerja (www.setneg.go.id).
Salah satu dari tiga
pilar AEC adalah mengenai Socio Cultural di
ASEAN. Tujuan dibentuknya Komunitas Sosial dan Budaya ASEAN untuk memajukan dan
mensejahterakan antar negara ASEAN dalam bidang sosial, kebudayaan, pendidikan,
ilmu pengetahuan, kesehatan dan masalah seputar sosial budaya. Selain itu
Komunitas Sosial dan Budaya ASEAN ini juga akan menciptakan masyarakat yang
beradab, saling menjaga toleransi antar negara ASEAN, saling menghormati,
menciptakan rasa persodaraan yang lebih kuat serta menjungjung tinggi rasa kemanusiaan
antar negara ASEAN (asean.gunklaten.com). Jadi dengan terbentuknya Komunitas
Sosial dan Budaya ASEAN diharapkan akan menjawab permasalahan yang ada.
Misalkan kasus klaim kebudayaan suatu bangsa antar negara ASEAN, hal tersebut
akan diselesaikan dengan Komunitas Sosial dan Budaya ASEAN. Jadi dengan terbentuknya Komunitas Sosial dan
Budaya ASEAN nantinya diharapkan sesama warga ASEAN bisa saling menjaga tali
persaudaraan dan menjunjung tinggi rasa sosial kemanusiaan antar warga ASEAN.
Dari kejadian mengenai multikulturalisme yang terjadi di
Indonesia, penulis ingin memberikan refleksi bagaimana ketika kejadian ini akan
menjadi sangat luas ketika Asean Economic Community 2015 yang per 1 Januari
2015 nanti akan berlangsung. AEC 2015 menjadikan ruang lingkup negara semakin
tidak terbatas. Begitu banyak orang-orang dari negara di ASEAN akan berdatangan
ke Indonesia dan Yogyakarta secara khususnya. Budaya serta agama yang banyak di
Indonesia saja masih sering terjadi konflik, dan bagaimana Indonesia ketika
menghadapi AEC 2015 yang sangat mungkin budaya lain masuk ke daerah Indonesia. Semakin
banyak dan berkembang tentunya. Akankah terjadi konflik? Hal ini masih menjadi
teka-teki akan bagaimana Indonesia menghadapinya. Kejadian yang serupa tidak
akan terjadi ketika banyak pihak yang turut ikut campur dalam mendidik
Indonesia menjaga martabat baik dengan sikap toleransi, menghargai dan tenggang
rasa terhadap budaya maupun agama orang lain yang nantinya akan lebih banyak
bermunculan budaya dan agama di luar Indonesia.
AEC 2015 yang akan segera berlaku ini menjadi dua sisi mata
uang yang akan memberikan keuntungan ataupun kerugian bagi Indonesia. Tanpa
melihat bagaimana pertumbuhan ekonomi, sudut pandang yang akan lebih di bahas
mengenai sosial dan budaya yang akan terjadi di Indonesia. Pertengkaran antar
sesama rakyat Indonesia yang beda agama, suku dan ras masih sering terjadi,
bagaimana dengan suku, agama dan ras dari berbagai negara ASEAN yang nantinya
akan keluar masuk di Indonesia. Mungkin akan terjadi penggusuran, perkelahian,
penghinaan, dan penghujatan terhadap satu budaya, suku, ras dari salah satu
negara di ASEAN yang datang ke Indonesia.
Ketakutan akan semakin menurunnya rasa toleransi dan
menghormati terhadap budaya, agama, suku dan ras dapat membuat Indonesia lepas
kontrol dan mungkin akan membuat negara-negara lain takut untuk berkunjung ke
Indonesia karena banyaknya konflik yang menyangkut budaya, agama, suku dan ras.
Hal ini patut untuk menjadi refleksi bersama bagaimana untuk melakukan tindakan
preventif sebelum AEC 2015 berlangsung. Pemikiran kritis terhadap tindakan
preventif ini harus direalisasikan dengan baik agar nantinya dapat melakukan
pencegahan sehingga apa yang dikhawatirkan tidak dapat terjadi.
Tindakan Preventif yang Telah
Dilakukan dalam Menghadapi Krisis Multikulturalisme di Indonesia
"Semakin banyak tantangan di Indonesia. Makin banyak
terjadi kekerasan atas nama agama," ujar Yenny dalam seminar
"Fundamental Rights in the European Union: Lesson Learned for
Indonesia" di kantor PBNU, Jakarta, Senin, 14 April 2014. Dia menegaskan
pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu membekali diri dengan kemampuan
beradaptasi untuk mengelola perbedaan agama ataupun aliran-aliran kepercayaan. Pentingnya
toleransi beragama sebagai suatu hak asasi manusia sudah mulai disadari oleh
negara-negara Eropa dan Indonesia. Arif Havas Oegroseno, Duta Besar Indonesia
untuk Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa, mengatakan belum lama ini parlemen
Eropa telah meratifikasi Kerangka Kerja Perjanjian Kemitraan Komprehensif
Indonesia-Uni Eropa. "Dalam perjanjian itu diatur sepuluh elemen kerja
sama, termasuk hak asasi dan kehidupan antaragama," katanya. Bahkan, untuk
memulai kerja sama tersebut, Indonesia mengirim cendekiawan Islam dari Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
Azyumardi Azra, ke Belgia. Azyumardi dikirim untuk membantu membuat kurikulum
teologi Islam di universitas katolik bernama Katholieke Universiteit yang
terletak di Kota Leuven. (Tempo.co,14 April
2014)
Dari cuplikan berita tersebut, dapat dilihat bahwa
kekhawatiran akan pentingnya pengertian multikulturalisme yang tidak hanya
sekedar mengerti tetapi juga paham dan bisa mewujdukan indahnya keberagaman,
hidup berelasi antar satu dengan yang lain harus terus di bina dengan baik.
Terbukti dengan tindakan nyata yang mengirimkan salah seorang cendekiawan
belajar ke universitas di Belgia untuk membuat kurikulum teologi Islam di
Universitas Katolik. Dengan melakukan pembelajaran saling bertukar pandangan
mengenai masa depan Indonesia ini dengan dunia luar dapat membuat Indonesia
belajar. Ibarat melakukan “pencerminan” yang kemudian dengan tanggapan dan apa yang dilihat dalam cermin
tersebut dapat menjadi masukan bagi Indonesia kedepannya untuk menjadi
Indonesia yang lebih baik. Belajar menjadi lebih baik ini mungkin menjadi
abstrak, dan ketika belajar dari pengalaman negara lain dalam menghadapi
permasalahan yang sama, mengikuti cara disintegrasi yang dilakukan Uni Sovyet
atau tetap berjalan pada rel kesatuan yang telah di konsep oleh Soekarno sejak
dulu. Hal tersebut akan menjadi masukan dan bahan pemikiran kritis akan jati
diri Indonesia. Selain mengirimkan cendekiawan untuk kembali menuntut ilmu,
pembentukan sebuah organisasi dan kumpulan peneliti juga terus digalakkan.
Sebagai kawasan yang pluralistik,
multi-etnik, dan multi-agama, Asia Tenggara merupakan kawah candra di
muka dalam pengelolaan keberagamaan agama dan multikulturalisme. Di satu sisi,
agama bisa menjadi modal social bagi upaya mewujudkan transformasi sosial yang
positif di kawasan ini. Tapi di sisi lain, semakin kuatnya pengaruh agama
di ranah publik memunculkan persoalan sosial seperti intoleransi, diskriminasi,
kekerasan, dan bahkan konflik sosial-keagamaan.
Berangkat dari latar belakang ini,
Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), yang beranggotakan UGM, UIN
Sunan Kalijaga, dan UKDW, menggelar Konferensi Internasional tentang “Agama,
Kebijakan Publik, dan Transformasi Sosial di Asia Tenggara,” bertempat di The
Phoenix Hotel, Kamis (20/3/2014). Konferensi mengungkap pengalaman dan
pengelolaan negara-negara di Asia Tenggara menghadapi persoalan
keberagaman agama. (KRJogja.com, 20 Maret 2014)
Acara
ini merupakan bagian dari riset kolaboratif yang didukung oleh The Henry Luce
Foundation, New York, yang melibatkan delapan negara Asia Tenggara, yakni
Indonesia, Singapura, Filipina, Malaysia, Vietnam, Thailand, Myanmar, Kamboja,
dan juga Amerika Serikat. Konferensi ini bertujuan untuk memberikan platform
bagi akumulasi pemikiran dan pengetahuan tentang pengelolaan keberagaman agama
baik di tingkat nasional maupun regional dan menghadirkan para ahli agama di
AsiaTenggara dan Amerika Serikat yang terlibat dalam riset kolaboratif Sembilan
Negara tentang Agama, Kebijakan Publik, dan Transformasi Sosial di Asia
Tenggara. Dalam pidato yang dibacakan oleh perwakilannya di konferensi
tersebut, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan bahwa dialog
untuk membangun harmoni hubungan antar agama hanya bisa diwujudkan bila
disertai dengan penghormatan akan keberagaman agama, etnik dan budaya di
Indonesia.
Sementara
itu Theodore Lyng, Penasihat Politik Duta Besar Amerika Serikat untuk
Indonesia, mengatakan bahwa konferensi ini bisa menjawab pertanyaan bagaimana
nilai-nilai agama bisa masuk ke ranah kebijakan public dan relasi antar-bangsa
tanpa harus melahirkan dominasi dan apalagi kekerasan. Pada konferensi ini,
para peneliti memaparkan hasil penelitiannya selama setahun tentang pengelolaan
keberagaman agama di negaranya masing-masing, seperti isu pluralisme agama dan
hubungannya dengan pendidikan agama dan multikulturalisme, kesenjangan
mayoritas-minoritas, politik dominasi dan isu-isu terkait lainnya.Hasil
penelitian yang dipresentasikan dalam konferensi tersebut nantinya akan
dibukukan dalam bentuk Policy-Relevant
Papers, dan diharapkan bisa menjadi masukan bagi pemerintah dalam mengambil
kebijakan publik yang mengarah pada terwujudnya transformasi sosial di Asia
Tenggara. Maufur, Program Manager, mengatakan bahwa setelah konferensi ini
dilangsungkan, nantinya akan diadakan dua lagi konferensi internasional serupa
masing-masing di Washington D.C. dan Bangkok.
Riset
yang akan dilakukan ini juga akan membantu dalam melakukan tindakan preventif
yang berguna bagi Indonesia maupun negara lainnya dalam menghadapi AEC 2015.
Karena ketakutan akan hal ini mungkin tidak hanya dialami Indonesia tetapi
negara ASEAN lainnya.
Tindakan nyata lainnya dalam mendidik masyarakat dalam hal
multikulturalisme adalah dengan peluncuran buku-buku yang mengupas mengenai multikulturalisme
di daerahnya. Penerbitan buku tersebut dirasa sangat perlu, mengingat bahwa
sedikitnya buku yang membahas mengenai multikulturalisme. Pendidikan
multikulturalisme menjadi sangat penting melalui buku-buku yang telah di
terbitkan.
Dalam
menghadapi pluralisme budaya menurut Choirul Mahfud, diperlukan paradigma baru
yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan multikultural. Pendidikan
berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab akan mengarahkan anak
didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas
masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis maupun agama. Paradigma
ini dimaksudkan bahwa kita hendaknya apresiatif terhadap budaya orang lain,
perbedaan dan keragaman merupakan kekayaan dan khazanah bangsa kita. Dengan
adanya pandangan tersebut, diharapkan sikap ekslusivisme yang selama ini
bersemayam dalam fikiran kita dan sikap membenarkan pandangan sendiri (truth claim), dengan menyalahkan
pandangan dan pilihan orang lain dapat dihilangkan atau diminimalisir.
Pendidikan multikultural disini, dimaksudkan bahwa manusia dipandang sebagai
makhluk makro dan sekaligus mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya
bangsa dan kelompok etnisnya.
Ciri-ciri
pendidikan multikulturalisme, diantaranya:
- Tujuannya
membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat berbudaya (peradaban)
- Materinya
mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa dan
nilai-nilai kelompok etnis (kultural).
- Metodenya
demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya
bangsa dan kelompok etnis (multukulturalis).
- Evaluasinya
ditentukan pada penilaiaan terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi
persepsi, apreseasi dan tindakan terhadap budaya lain.
Dari ciri-ciri tersebut dapat menjadi patokan bagi mereka
yang ingin mengembangkan dan mendidik masyarakat mengenai multikulturalisme. Dari
semua tindakan prefentif yang dilakukan diharapkan dapat membuat Indonesia
menjadi kuat dan dapat melewati AEC 2015 tanpa ragu dan tetap menjunjung tinggi
keberagaman yang bertoleransi.
Jadi, pelajarilah kemampuan diri dalam membangun relasi
dengan orang lain. Tumbuhkan sikap toleransi, saling menghormati terhadap
budaya, ras, suku maupun agama yang berbeda. Perjuangkanlah terus karena
multikulturalisme hadir menjadi sebuah kebiasaan baik jika di mulai dari
sekarang !
Daftar Pustaka
Dawam,
Ainurrofiq. 2003. Emoh Sekolah Menolak Komersialisasi Pendidikan dan
Kanibalisme Intelektual menuju Pendidikan Multikultural. (Yogyakarta: Inspeal
Ahimsakarya Press)
Mahfud,
Choirul. 2009. Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Tempo.co.
2014. Umat Katolik di Sleman Di serang Kelompok Bergamis. Minggu,15 Juni 2014 http://www.tempo.co/read/news/2014/05/30/078581172/Umat-Katolik-di-Sleman-Diserang-Kelompok-Bergamis
Tempo.co.
2014. Kasus Intoleransi di Indonesia dalam Setahun. Minggu, 15 Juni 2014 http://www.tempo.co/read/news/2014/04/15/078570722/245-Kasus-Intoleransi-di-Indonesia-Dalam-Setahun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar