Dewasa ini perkembangan komunikasi dengan implikasinya terhadap sosial sangat cepat. Muncul banyak inovasi baru dalam persebaran informasi yang menjadi pokok tujuan dari komunikasi sendiri. Seperti video, film, internet, sosial media, dan e-book. Semua contoh tersebut menawarkan nilai-nilai yang diusungnya yaitu kecepatan dalam penyampaian informasi kepada khalayak luas atau dalam komunikasi massa disebut sebagai massa atau public. Menurut Deddy Mulyana dalam bukunya “Teori Komunikasi Suatu Pengantar” menjelaskan bahwa komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim, dan heterogen (Mulyana 2007: 83). Sedangkan media menurut John Hartley dalam bukunya “Communication, Cultural, & Media Studies” mengartikan bahwa materi apapun, dimana melaluinya hal-hal lain dapat disampaikan. Media komunikasi karena itu merupakan sarana apa saja yang dengannya pesan bisa ditransmisikan (Hartley 2004: 164). Dari hal itulah sudah terlihat jelas bahwa media dapat dikatakan sangat penting untuk menyebarkan informasi.
Paper ini mengangkat media film “JAGAL” sebagai analisis dalam komunikasi massa. Film ini menceritakan sejarah yang hilang, yang menceritakan bagaimana cara pembantaian anggota PKI di masa orde baru yang dilakukan oleh Anwar Congo dan teman-temannya. Anwar Congo dahulu adalah seorang preman yang bekerja sebagai pencatut karcis di sebuah bioskop di Medan, Sumatera Utara. Namun karena kerusuhan yang diakibatkan PKI, Presiden Soeharto mencari antek-antek untuk membasmi PKI. Para preman direkrut untuk bekerja sama dengan Pemuda Pancasila untuk “membersihkan” orang-orang yang dituduh sebagai anggota komunis. “Membersihkan” di sini berarti melenyapkan atau bahasa sederhananya adalah membunuh.

Film Jagal atau Act of Killing dibuat oleh seorang sutradara dari Amerika Serikat yang bernama Joshua Oppenheimer sebagai syarat untuk mendapatkan gelar S3. Pemutaran perdana film ini bukanlah di Indonesia yang sebagai tempat dan obyek besar pengambilan filmnya melainkan dalam sebuah festival film dokumenter di Toronto. Hal ini sangat disayangkan, film yang seharusnya menjadi sebuah refleksi bagi bangsa Indonesia bukannya ditonton di negaranya sendiri melainkan di negara orang.
Dalam tayangan perdana, film ini memperoleh penghargaan sebagai film dokumenter terbaik. Setelah ditayangkan pada beberapa festival film di Eropa lainnya seperti di Inggris, film ini juga terus menerus mendapatkan penghargaan dan pujian dari audiens yang telah menyaksikan.
Film yang dibuat oleh Joshua Oppenheimer ini bisa dikategorikan menjadi film dokumenter sejarah yang tidak hanya menampilkan sisi baik saja melainkan terdapat sisi buruknya. Hal tersebut dikarenakan isi film ini juga memperlihatkan kekejaman pemerintahan orde baru dalam pembantaian PKI. Film ini tidak selayaknya berfungsi sebagai media komunikasi massa karena terdapat halangan dalam mempublikasikan film Jagal ke khalayak luas. Menurut Nicolaus Sulistyo sebagai Presiden BEM Fisip UAJY, larangan ini disebabkan adanya unsur kepentingan nama baik seseorang maupun kelompok di dalam film tersebut di mana jika film ini tersebar akan merusak citra mereka. Mereka adalah Organisasi Pemuda Pancasila, Bapak Jusuf Kalla, serta beberapa pejabat pemerintah yang saat ini masih berperan aktif dalam menggerakkan roda pemerintah. Dalam film tersebut Pemuda Pancasila sebagai salah satu organisasi pemuda terbesar ikut ambil andil dalam pembantaian PKI. Keikutsertaan ini dapat merusak citra Pemuda Pancasila atau PP. Dimana seharusnya sebagai organisasi yang berlandaskan Pancasila, PP tidak akan melakukan pembunuhan kepada anggota PKI tersebut. Jika film ini disebar, citra PP sebagai organisasi yang berlandasakan Pancasila akan rusak di mata masyarakat. Nico juga berkata,“Tunggu saja hingga 4-5 tahun kemudian, ketika pemerintah yang berkuasa sekarang sudah berganti dengan yang baru, film Jagal ini pasti akan diputar bebas.”
Begitu juga dengan Andreas Harsono, seorang peneliti HAM di Yayasan Pantau. Dalam Seminar CFRC, beliau mengatakan bahwa film ini selayaknya ditonton oleh generasi muda karena banyak pelajaran yang dapat diambil dari film tersebut. Salah satunya adalah melihat permasalahan dari dua perspektif dimana pertama kita melihat kekejaman G30S/PKI terhadap bangsa Indonesia yang kemudian dengan adanya film Jagal, kita dapat membandingkan bahwa bangsa Indonesia tidak kalah kejamnya dengan PKI tersebut. Kemudian dari sisi pelanggaran HAM berat yang dilakukan saat orde baru dimana hingga sekarang kasusnya tidak diusut dengan jelas dan tuntas.
Menurut kami, film jagal ini baik untuk ditonton kepada khalayak terutama generasi muda karena film ini bisa menjadi sumber refleksi dari bangsa Indonesia akan sejarah kelam masa lalu dan memberikan masyarakat sedikit banyak informasi baru mengenai kelamnya sejarah Indonesia, karena bagaimanapun juga sejarah adalah sejarah. Tidak akan bisa dihapuskan.
Sayangnya, film ini hanya dapat kita saksikan secara sembunyi-sembunyi karena film ini dilarang oleh pemerintah. Sebagai contohnya adalah menurut Langitantyo Tri Gezar seorang mahasiswa FISIPOL UI 2010, pada tahun lalu sempat diadakan acara untuk menyaksikan film ini secara bersama-sama di Fakultas Ilmu Budaya UI. Namun, penanggungjawab acara itu dipanggil oleh pihak berwajib dan dimintai pertanggungjawabannya.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyana, Deddy. 2011. Teori Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: Rosda Karya.
Hartley John, 2004, Communication, Cultural & Media Studies: The Key Concepts, London: Routledge.
Citizen Jurnalism. 2012. Sebuah Pengakuan Mengejutkan Anwar Congo “Sang Pembantai PKI”. http://www.citizenjurnalism.com/hot-topics/pengakuan-anwar-congo-sang-pembantai-pki/ . Diakses pada Selasa, 18 Juni 2013.