Senin, 18 Maret 2013

Hukum Pajak


HUKUM  PAJAK

  1.        I.            Pengertian Pajak dan Hukum Pajak

Pengertian pajak menurut :
·         Prof.Dr.Rochmat Soemitro S.H.
Iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan UU (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
·         Prof.Dr.P.J.A.Adriani
Iuran kepada negara (dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan
·         Dr. Soeparman Soemahamidjaja
Iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
            Pengertian Hukum pajak :

Sebagian dari hukum publik, dan ini adalah bagian dari tata tertib hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan warganya; pendek kata yang memuat cara-cara untuk mengatur pemerintahan. Hukum pajak juga mempunyai tugas bersifat lain daripada hukum administratif  pada umumnya, yaitu hukum pajak juga dipergunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian.

  1.     II.            Isi dan Ruang Lingkup Hukum Pajak

Di tinjau dari berlakunya hukum pajak, dibedakan atas
1.      Hukum Pajak Nasional : Hukum pajak yang ditetapkan oleh suatu negara dan berlaku dalam wilayah negara yang menetapkannya. Dalam hukum pajak nasional terdapat hukum pajak daerah yang ditetapkan oleh satu daerah tertentu dan berlaku hanya pada daerah yang bersangkutan.

2.      Hukum Pajak Internasional : Hukum pajak yang ditetapkan oleh dua negara atau lebih dan berlaku pada wilayah yang terkait dari perjanjian yang diadakan untuk itu. Hukum pajak internasional terbagi menjadi:
ü  hukum pajak internasional sempit
ü  hukum pajak internasional luas
Di kaji berdasarkan undang-undang pajak bagian dari hukum positif :
a.    Hukum Pajak Materil : kumpulan kaidah hukum yang mengatur tentang keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang terkait dengan objek pajak, subjek pajak, wajib pajak, dasar pengenaan pajak, tarif pajak, masa pajak, dan tahun pajak. Misalnya dapat ditemukan pada UU PPh, dan UU PPN serta sebagiannya dalam UU PBB, UU PDRD.

b.   Hukum Pajak Formal : kumpulan kaidah hukum yang mengatur tentang bagaimana cara mlaksanakan dan mempertahankan hukum pajak materil. Hukum pajak formal bersifat mengabdi kepada hukum pajak materil artinya keberadaan hukum pajak formal menyesuaikan dengan kebutuhan yang dikehendaki untuk berlakunya hukum pajak materil secara efektif. Misalnya dapat ditemukan pada UU KUP sebagiannya terdapat dalam UU PBB, UU PDRD.  

  1.  III.            Sumber-Sumber Hukum Pajak

1.      UUD 1945
Sebelum amandemen UUD’45 ketentuan mengenai pajak diatur pada pasal 23 ayat 2 UUD’45 yang berbunyi “segala pajak untuk keperluan negara harus berdasar undang-undang.” Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang meletakkan kewenangan pada negara untuk memungut pajak jika negara membutuhkannya, tetapi dengan syarat harus berdasarkan undang-undang. Setelah UUD’45 diamandemen ketentuan mengenai pajak mengalami perubahan sangat prinsipil yang terlihat pada pasal 23 A UUD’45 yang berbunyi “pajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Hal ini merupakan suatu perkembangan positif agar tidak sewenang-wenang membebankan pungutan yang bersifat memaksa kepada warga negara tanpa diatur denga undang-undang sebagai perwujudan dari negara hukum. Dasar hukum berlakunya adalah Pasal I Aturan peralihan UUD 1945 hasil amandemen yang menyatakan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang baru menurut UUD. Disamping itu, ditetapkan Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU PENJAK) sebagai penjabaran pasal 23 A UUD’45 yang mencabut Undang-undang Nomor 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.

2.      Perjanjian Perpajakan
Perjanjian perpajakan merupakan sumber hukum pajak yang tertulis sebagai hasil perjanjian dua negara atau lebih. Tujuannya untuk mencegah terjadinya pajak ganda internasional yang menimbulkan beban tinggi terhadap wajib pajak dan mencegah terjadinya penghindaran pajak dan penyelundupan pajak internasional. Fungsi perjanjian perpajakan adalah,
a.       Untuk penghindaran pajak ganda dan pencegahan penyelundupan pajak;
b.      Dilihat dari sudut kepentingan negara yang sedang berkembang, untuk mendorong arus penanaman modal, teknologi, keahlian dan perdagangan ke negaranya;
c.       Dilihat dari kepentingan wajib pajak, adanya suatu kepastian untuk beberapa hal penting;
d.      Dapat mempermudah dan memperlancar transaksi ekonomi antarnegara sehingga diharapkan dapat memajukan perdagangan internasional;
e.       Adanya pemecahan mengenai alokasi penghasilan dengan memberikan suatu metode pemajakan yang disederhanakan;
f.       Adanya pembagian negara di antara negara-negara yang paling berkaitan dalam pemajakan suatu penghasilan;
g.      Adanya pencapaian suatu tingkat pemajan yang pantas;
h.      Mempertinggi kerja sama antarnegara dibidang teknik, ekonomi, dan kultural;
i.        Menambah pengalaman teknis dan memperluas pengetahuan, khususnya dalam hukum pajak internasional bagi pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua negara yang bersangkutan (pengembangan sumber daya manusia).

Wujud perjanjian perpajakan yang dilakukan Indonesia adalah dalam bentuk “Perjanjian Pencegahan Pajak Berganda (P3B)”, baik bersifat bilateral maupun bersifat multirateral. Perjanjian perpajakan yang dilakukan oleh Indonesia dengan negara lain adalah mengenai tarif atas bunga, deviden dan royalti yang dibayarkan kepada wajib pajak yang terlibat dalam perjanjian termaksud. Negara yang terlibat dalam perjanjian pencegahan pajak berganda dengan Indonesia, antara lain Polandia, Belgia, Belanda, Inggris, Jerman, Kanada, Filipina, Thailand dan Jepang.

3.      Yurisprudensi Perpajakan
Yurisprudensi perpajakan adalah putusan pengadilan mengenai perkara pajak yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Putusan pengadilan yang terkait dengan sengketa pajak adalah putusan pengadilan pajak maupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sumber hukum pajak dalam konteks yurisprudensi perpajakan dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 208.K/TUN/1998.

4.      Doktrin Perpajakan
Doktrin atau pendapat ahli hukum merupakan sumber hukum pada umumnya agar doktrin ini dapat menjadi sumber hukum pajak substansinya harus berada dalam kontgeks dibidang perpajakan yang dikemukakan oleh hukum pajak. Untuk masa kini belum dapat diharapkan untuk dapat menunjang pengembangan hukum pajak. Kelangkaan ahli hukum pajak merupakan salah satu faktor penghambat perkembangan hukum pajak.

  1.  IV.            Fungsi Pajak

1.      Fungsi Finansial (budgeter)
Memasukan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. Dalam upaya meningkatkan penerimaan perpajakan pemerintah secara konsistern melakukan berbagai upaya pembenahan baik aspek kebijakan maupun aspek sistem dan adminsitrasi perpajakan melalui hal-hal berikut ini :
a.       Amademen Undang-undang perpajakan
b.      Modernisasi kantor pajak
c.       Ekstensifikasi dan intensifikasi
d.      Ekstra effort dalam pemeriksaan dan penagihan pajak
e.       Pembangunan database terintegrasi
f.       Penyediaan layanan melalui pemanfaatan teknologi informasi
g.      Penegakan kode etik pegawai untuk meningkatkan kedisiplin dan good governance aparatur pajak.

2.      Fungsi mengatur (Reguleren)
Pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik dibidang ekonomi, sosial, maupun politk dengan tujuan tertentu. Pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dapat dilihat dalam contoh sebagai berikut :
a.    Pemberian intensi pajak dalam rangka meningkatkan investasi baik investasi dalam negri maupun investasi asing. Misalnya : tax holiday
b.    Pengenaan pajak ekspor untuk produk-produk tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negri.
c.    Pengenaan biaya masuk dan pajak penjualan atas barang mewah untuk produk-produk impor tertentu dalam rangka melindungi produk-produk dalam negeri.

  1.     V.         Asas-Asas Hukum Pajak

1.      Equality
Pajak bersifat final adil dan merata. Pembebanan pajak kepada subjek pajak hendakya seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan panghasilan yang dinikmatinya di bawah perlindungan pemerintah. Dalam hal equality ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara wajib pajak. Dalam keadaan yang sama wajib pajak harus diperlakukan sama dan dalam keadaan berbeda wajib pajak harus diperlakukan berbeda.

2.      Certainty
Penetapan pajak tidak ditentukan sewenang-wenang . pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi kompromis (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai subjek pajak, objek, tarif pajak dan ketentuan mengenai pembayarannya.

3.      Convinience
Pajak dikenakan saat tidak menyulitkan WP ( Pay as you earn). Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak, yaitu pada saat dekat-dekatnya dengan saat ditrimanya pengahasilan atau keuntungan yang akan dikenakan pajak.

4.      Economy
Biaya pemungutan dan pemenuhan kewajiban minimal. Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat atau seeffisien mungkin, jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan dari pajak itu sendiri. Karena tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.

  1.  VI    Pembagian Hukum Pajak

  
1.      Berdasarkan golongannya pajak dapat dibagi menjadi dua sebagai berikut :
a.          Pajak Langsung
Pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak yang berdasangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Misal pajak penghasilan yaitu pajak yang dikenakan terhadap penghasilan.
b.         Pajak Tidak Langsung
Pajak yang bebannya dapat dialihkan atau digeserkan kepada pihak lain sehingga sering disebut juga sebagai pajak tidak langsung. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

2.    Berdasarkan Wewenang Pemungut
a.          Pajak Pusat/Pajak Negara
Pajak yang wewenang pemungutan pajaknya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Dirjen Pajak. Pajak pusat diatur dalam UU dan hasilnya akan masuk ke APBN. Contohnya: PPn, PPh, PBB, Bea Materai, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

b.          Pajak Daerah
Pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Pajak pusat diatur dalam UU dan hasilnya akan masuk ke APBD. Contoh Pajak Daerah Provinsi :
·           Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
·           Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
·           Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
·           Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah
Contoh Pajak Daerah Kabupaten/Kota :
·           Pajak Hotel
·           Pajak Restoran
·           Pajak Hiburan
·           Pajak Reklame
·           Pajak Penerangan jalan
·           Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Gol. C
·           Pajak Parkir
Dibandingkan dengan reformasi pajak pusat yang sudah dimualai sejak tahun 1983 reformasi pajak daerah relatif terlambat karena baru dimulai tahun 1997 dengan disahkannya undang-undang pajak dan retribusi daerah. Namun tidak berarti pajak daerah dianggapkurang penting dibandingkan pajak pusat apalagi dalam rangkan pelaksanaan otonomi daerah. Sedangkan tujuan dari pembuatan undang-undang pajak daerah adalah sebagai berikut :
1.    Untuk menyederhanakan berbagai pajak derah yang ada selama ini supaya mengurangi biaya ekonomi lebih tinggi. Hal ini bisa dilihat dari jumlah pajak daerah yang sebelumnya ada sekitar 40 jenis menjadi hanya 11 jenis.

2.    Untuk menyederhanakan sistem dan administrasi perpajakan supaya dapat memperkuat fondasi penerimaan daerah khusunya kabupaten/kota dengan mengefektifkan jenis pajak tertentu yang memang potensial.

3.              Berdasarkan Sifat :
a.          Pajak Subjektif
Pajak yang memperhatikan pertama-tama keadaan pribadi wajib pajak. Untuk menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan-alasan yang objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya yaitu yang disebut dengan gaya pikulnya. Contohnya : Pajak Pendapatan yang sasarannya adalah pendapatan seseorang. Pada pajak-pajak subjektif ini keadaan pribadi wajib pajak sangat mempengaruhi besar-kecilnya jumlah pajak yang terhutang.

·      Unsur Subjektif : Unsur-unsur subjektif dari gaya pikul mencakup segala kebutuhan terutama materil sampai moral dan spiritual. Gaya pikul berbanding terbalik dengan kemampuan membayar, semakin besar gaya pikulnya semakin kecil kemampuan membayar pajak. Dengan demikian dalam pajak subjektif harus memberi pembebasan pajak untuk biaya hidup minimum, dan memperhatikan faktor-faktor perseorangan dan keadaan-keadaan yang berpengaruh terhadap besar-kecilnya biaya hidup, jumlah anggota keluarga atau jumlah tanggungan.

·      Unsur Objektif : unsur-unsur objektif dari gaya pikul terdiri atas pendapatan , kekayaan, dan belanja. Penerapan di Indonesia dapat dilihat dalam pengenaan Pajak Penghasilan orang pribadi, sebelum dikenakan pajak terlebih dahulu neto dikurangan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


b.          Pajak Objektif
 Melihat pada objeknya yang selain benda, dapat pula berupa keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar; kemudian barulah dicari subjeknya yang bersangkutan langsung, dengan tiada mempersoalkan apakah subjek ini berkediaman di Indonesia atau tidak. Subjek yang mempunyai hubungan hukum yang tertentu dengan objek itulah yang ditunjuk sebagai subjek yang harus membayar pajak. Contohnya : Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Senjata Api dll.
















Daftar Pustaka
Brotodihardjo, R.Santoso.1986. Pengantar Ilmu Hukum Pajak . PT.Eresco : Bandung
Saidi, Muhammad Djafar, S.H., M.H. 2007. Pembaruan Hukum Pajak. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta
Suandy, Erly. 2011. Hukum Pajak. Salemba Empat : Jakarta
Burton, Ricahard. Ilyas, Wirawan B. 2011. Hukum Pajak. Salemba Empat : Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar