PEKANBARU (RP) — Karena dinilai bertentangan dengan
undang-undang yang lebih tinggi, substansi tujuh usulan Perda yang disampaikan
Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru diharuskan untuk direvisi kembali.
Hal ini sesuai dengan hasil evaluasi yang dilakukan oleh
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.
Ketujuh Perda retribusi yang harus direvisi itu adalah
Pengujian Kendaraan Bermotor, Pengendalian Menara dan Telekomunikasi, Terminal,
Izin Trayek, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin gangguan (HO), dan Retribusi
Pelabuhan.
Kepala Bagian Hukum dan Perundang-undangan Sekretariat Pemko
Pekanbaru melalui Kasubbag Perundang-undangan, Sri Irawani kepada Riau Pos,
Jumat (6/7) mengatakan, diantara substansi yang mesti diperbaiki adalah
penetapan tarif menara telekomunikasi yang menurut usulan dalam Perda Pemko
Pekanbaru dihitung per meternya namun menurut kementrian dihitung 2 persen dari
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tempat menara dibangun.
Begitu juga item mengenai pelabuhan khusus. Berdasarkan hasil
evaluasi yang dilakukan dua kementerian tersebut juga diminta untuk dihapuskan
salah satub substansinya, yakni retribusi pelayanan pelabuhan khusus.
Permintaan dihapusnya substansi tersebut dikarenakan
Pekanbaru dianggap tidak memiliki pelabuhan khusus.
‘’Secara umum, untuk besaran nilai retribusi tidak ada
perubahan atau masih sama dengan yang diusulkan. Namun untuk revisi terhadap
tujuh substansi Perda itu sendiri saat ini masih diproses oleh Bagian Hukum.
Kami perkirakan dalam waktu dekat, ke tujuh Perda ini sudah dimasukkan dalam
lembaran daerah dan menyusul segera diberlakukan,’’ ungkapnya.(lim)
Menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 pasal 18 ayat 1 menentukan bahwa objek retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah. Tidak semua jasa yang diberikan pemerintah daerah dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jasa-jasa jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial – ekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu. Hal ini juga diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009.
Sesuai
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 pasal 18 ayat 2 dan Undang-undang Nomor 28
tahun 2009 Pasal 108 ayat 2-4, retribusi daerah dibagi 3 golongan yaitu :
- Retribusi jasa umum, yaitu
retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk tujuan
kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi
atau badan.
- Retribusi jasa usaha, yaitu
retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut
prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula dapat disediakan pula
oleh sektor swasta.
- Retibusi perizinan tertentu, yaitu
retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian
izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan,
pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang,
penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas
tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian
lingkungan.
Untuk penetapan jenis retribusi daerah
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pasal 194 ayat 2-4, untuk
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan kewenangan daerah
masing-masing sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan. Hal ini
merupakan realisasi dari perkembangan daerah otonom. Dimana setiap daerah di
beri kewenangan untuk menentukan dan menetapkan peraturan dan mengurus rumah
tangga daerah itu sendiri.
Dearah otonom yang merupakan hak daerah itu
sendiri untuk mengurusi rumah tangganya pun tidak terlepas dari peraturan.
Kebebasan yang diberikan juga harus seusuai dengan aturan. Hal ini terlihat
pada berita yang di lansir Riau Pos Jumat (6/7), dapat dikatakan bahwa pemko
Pekanbaru mengajukan perda yang tidak sesuai dengan kenyataan dan realitas di lapangan,
serta peraturan yang ada. Penetapan perda pemko tersebut terhambat karena harus
direvisi. Seperti halnya yang tertera dalam berita tersebut, terdapat 7 jenis
perda retribusi yang harus di revisi yaitu
- Pengujian
Kendaraan Bermotor
- Pengendalian Menara dan Telekomunikasi
- Terminal
- Izin Trayek
- Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
- Izin gangguan (HO), dan
- Retribusi Pelabuhan
Ketujuh perda ini, dianggap tidak sesuai dengan
undang-undang yang mengatur tentang retribusi. Contohnya adalah penetapan tarif
menara telekomunikasi yang menurut usulan dalam Perda Pemko Pekanbaru dihitung
per meternya namun menurut kementrian dihitung 2 persen dari Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) tempat menara dibangun.
Begitu hal nya dengan pelabuhan khusus.
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan dua kementerian Kepala Bagian Hukum
dan Perundang-undangan Sekretariat Pemko Pekanbaru melalui Kasubbag
Perundang-undangan, Sri Irawani, juga diminta untuk dihapuskan salah satu
substansinya, yakni retribusi pelayanan pelabuhan khusus. Permintaan dihapusnya substansi
tersebut dikarenakan Pekanbaru dianggap tidak memiliki pelabuhan khusus.
Pelabuhan yang terdapat di Pekanbaru masih pelabuhan yang dipakai secara umum.
Jika akan ditelusuri, perda pemko Pekanbaru ini
mengarah dan cenderung usaha-usaha implisit untuk dilakukannya korupsi.
Pelanggaran hukum tidak hanya sebatas Undang-undang
Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tetapi juga
melanggar peraturan diatasnya. Mengapa hal ini saya katakan implisit untuk
korupsi? Karena seperti yang diketahui, pajak merupakan lahan yang sangat empuk
untuk melakukan korupsi. Ketika pajak perda atau pemko tersebut di setujui
tanpa adanya pengecekan ulang dan secara berkala, dapat dipastikan aliran pajak
yang tidak sesuai dengan realitas tersebut akan mengalir ke kantong oknum-oknum
yang mencetuskan perda tersebut.
Namun, untungnya, penetapan perda pemko
Pekanbaru tersebut tidak dilakukan dengan sembarangan. Artinya bahwa, terdapat
kinerja yang baik antar petinggi yang mengawasi perda tersebut berjalan atau
terbentuknya perda. Sinkronisasi terhadap realitas dengan peraturan yang ada
merupakan kunci yang harus di pegang setiap jajaran pemerintah. Di mana tidak
adanya ketimpangan yang dapat merugikan sebelah pihak dan menguntungkan di lain
pihak, yang sesuai dengan sila ke lima Pancasila yaitu “Keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar