Minggu, 08 Juni 2014

Menjunjung Keadilan Dalam Perda Pemko Pekanbaru


PEKANBARU (RP) — Karena dinilai bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, substansi tujuh usulan Perda yang disampaikan Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru diharuskan untuk direvisi kembali. 
Hal ini sesuai dengan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. 
Ketujuh Perda retribusi yang harus direvisi itu adalah Pengujian Kendaraan Bermotor, Pengendalian Menara dan Telekomunikasi, Terminal, Izin Trayek, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin gangguan (HO), dan Retribusi Pelabuhan.
Kepala Bagian Hukum dan Perundang-undangan Sekretariat Pemko Pekanbaru melalui Kasubbag Perundang-undangan, Sri Irawani kepada Riau Pos, Jumat (6/7) mengatakan, diantara substansi yang mesti diperbaiki adalah penetapan tarif menara telekomunikasi yang menurut usulan dalam Perda Pemko Pekanbaru dihitung per meternya namun menurut kementrian dihitung 2 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tempat menara dibangun.
Begitu juga item mengenai pelabuhan khusus. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan dua kementerian tersebut juga diminta untuk dihapuskan salah satub substansinya, yakni retribusi pelayanan pelabuhan khusus. 
Permintaan dihapusnya substansi tersebut dikarenakan Pekanbaru dianggap tidak memiliki pelabuhan khusus.
‘’Secara umum, untuk besaran nilai retribusi tidak ada perubahan atau masih sama dengan yang diusulkan. Namun untuk revisi terhadap tujuh substansi Perda itu sendiri saat ini masih diproses oleh Bagian Hukum. Kami perkirakan dalam waktu dekat, ke tujuh Perda ini sudah dimasukkan dalam lembaran daerah dan menyusul segera diberlakukan,’’ ungkapnya.(lim)



Menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 pasal 18 ayat 1 menentukan bahwa objek retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah. Tidak semua jasa yang diberikan pemerintah daerah dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jasa-jasa jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial – ekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu. Hal ini juga diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009.
            Sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 pasal 18 ayat 2 dan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 Pasal 108 ayat 2-4, retribusi daerah dibagi 3 golongan yaitu :
  1. Retribusi jasa umum, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
  2. Retribusi jasa usaha, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula dapat disediakan pula oleh sektor swasta.
  3. Retibusi perizinan tertentu, yaitu retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Untuk penetapan jenis retribusi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pasal 194 ayat 2-4, untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan kewenangan daerah masing-masing sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan. Hal ini merupakan realisasi dari perkembangan daerah otonom. Dimana setiap daerah di beri kewenangan untuk menentukan dan menetapkan peraturan dan mengurus rumah tangga daerah itu sendiri.
Dearah otonom yang merupakan hak daerah itu sendiri untuk mengurusi rumah tangganya pun tidak terlepas dari peraturan. Kebebasan yang diberikan juga harus seusuai dengan aturan. Hal ini terlihat pada berita yang di lansir Riau Pos Jumat (6/7), dapat dikatakan bahwa pemko Pekanbaru mengajukan perda yang tidak sesuai dengan kenyataan dan realitas di lapangan, serta peraturan yang ada. Penetapan perda pemko tersebut terhambat karena harus direvisi. Seperti halnya yang tertera dalam berita tersebut, terdapat 7 jenis perda retribusi yang harus di revisi yaitu
  1. Pengujian Kendaraan Bermotor
  2. Pengendalian Menara dan Telekomunikasi
  3. Terminal
  4. Izin Trayek
  5. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
  6. Izin gangguan (HO), dan
  7. Retribusi Pelabuhan
Ketujuh perda ini, dianggap tidak sesuai dengan undang-undang yang mengatur tentang retribusi. Contohnya adalah penetapan tarif menara telekomunikasi yang menurut usulan dalam Perda Pemko Pekanbaru dihitung per meternya namun menurut kementrian dihitung 2 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tempat menara dibangun.
Begitu hal nya dengan pelabuhan khusus. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan dua kementerian Kepala Bagian Hukum dan Perundang-undangan Sekretariat Pemko Pekanbaru melalui Kasubbag Perundang-undangan, Sri Irawani, juga diminta untuk dihapuskan salah satu substansinya, yakni retribusi pelayanan pelabuhan khusus. Permintaan dihapusnya substansi tersebut dikarenakan Pekanbaru dianggap tidak memiliki pelabuhan khusus. Pelabuhan yang terdapat di Pekanbaru masih pelabuhan yang dipakai secara umum.
Jika akan ditelusuri, perda pemko Pekanbaru ini mengarah dan cenderung usaha-usaha implisit untuk dilakukannya korupsi. Pelanggaran hukum tidak hanya sebatas Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tetapi juga melanggar peraturan diatasnya. Mengapa hal ini saya katakan implisit untuk korupsi? Karena seperti yang diketahui, pajak merupakan lahan yang sangat empuk untuk melakukan korupsi. Ketika pajak perda atau pemko tersebut di setujui tanpa adanya pengecekan ulang dan secara berkala, dapat dipastikan aliran pajak yang tidak sesuai dengan realitas tersebut akan mengalir ke kantong oknum-oknum yang mencetuskan perda tersebut.

Namun, untungnya, penetapan perda pemko Pekanbaru tersebut tidak dilakukan dengan sembarangan. Artinya bahwa, terdapat kinerja yang baik antar petinggi yang mengawasi perda tersebut berjalan atau terbentuknya perda. Sinkronisasi terhadap realitas dengan peraturan yang ada merupakan kunci yang harus di pegang setiap jajaran pemerintah. Di mana tidak adanya ketimpangan yang dapat merugikan sebelah pihak dan menguntungkan di lain pihak, yang sesuai dengan sila ke lima Pancasila yaitu “Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar