Aksi mogok dokter tanggal 27 November 2013 silam,
memang banyak mengundang kontroversial yang pelik. Aksi mogok solidaritas ini merupakan
keputusan Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) yang kemudian
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) mendukung aksi ini dan diselenggarakan serentak
di seluruh Indonesia. Aksi mogok ini dilakukan mereka para dokter untuk turut
prihatin serta rasa solidaritas para dokter se-Indonesia yang menimpa dr.Dewa
Ayu Sasiary Prawani beserta dua rekannya yaitu dr.Hendry Simanjuntak dan
dr.Hendy Siagian yang mendapat hukum pidana yang dijatuhkan MA masing-masing 10
bulan karena telah melanggar etika kedokteran dan SPO praktik kedokteran. Para
dokter turun ke jalan dengan stelan rapi ala dokter, spanduk-spanduk atau
tulisan-tulisan sebagai rasa simpatik mereka serta untuk menyuarakan pendapat
mereka sebagai dokter.
Dengan kejadian tersebut, banyak menuai tanggapan
positif maupun negatif dari banyak kalangan. Sudut pandang publik yang mendapat
pelayanan buruk pada saat aksi mogok tersebut pasti akan memberi tanggapan yang
negatif dan justru mencibir para dokter karena telah melanggar kode etik
kedokteran yang seharusnya melayani publik. Namun, sudut pandang berbeda datang
dari sisi para dokter yang turut merasakan apa yang diterima oleh tiga
rekannya. Mereka akan melihat aksi mogok ini merupakan aksi unjuk gigi bahwa
profesi dokter tidak dapat dimainkan oleh hukum. Pengambilan tindakan tanpa melihat
dari sudut pandang etika kedokteran.
Kemudian, berada dipihak manakah saya berdiri? Saya
pribadi sangat menyayangkan apa yang dilakukan para dokter di jalanan. Bukan
menarik simpatik dari saya, malahan membuat saya berpikir apakah ini pemikiran
orang-orang terdidik yang memilih jalur untuk mogok dan berduyun-duyun
mengitari jalan raya menyuarakan pendapat mereka? Apakah mereka sebagai orang
terdidik tidak memiliki cara yang lebih “pintar” untuk menarik simpatik
masyarakat akan rasa solidaritas mereka terhadap 3 rekan mereka? Beberapa
pertanyaan tersebut berdampak pada tindakan yang dilakukan para dokter.
[1]Menurut
berita yang dilansir oleh republika.co.id Endang (47 tahun), seorang warga Baturaden
yang hendak berobat jalan di RSU Margono, mengaku datang sejak pukul 06.30 di RSU
Margono guna agar tidak menunggu lama untuk mendapat pengobatan. Namun, beliau menyesalkan
aksi mogok para dokter tersebut, karena secara tidak langsung para dokter
tersebut telah ‘bermain-main’ dengan nyawa manusia. Tidak hanya warga Baturaden
yang mengeluh, banyak daerah hampir di seluruh Indonesia mengeluh akan aksi
ini. [2]Wawako
Batam pun, tidak mendukung akan aksi solidaritas yang dilakukan para dokter.
Menurut berita Batam Pos, wawako Rudi ikut nimbrung untuk meminta para dokter kembali menjalankan
aktifitas mereka untuk memberi pelayanan kepada masyarakat. “Jujur saya tak mendukung aksi ini, karena
banyak masyarakat yang sedang butuh pelayanan. Saya akan biarkan mereka
menyampaikan kepedulian. Selesai ini barulah saya himbau agar mereka kembali
beraktifitas,” terang Rudi.
Komentarpun
datang dari pengajar hukum pidana UI, Gandjar Bondan. [3]Gandjar
menilai aksi mogok itu sebagai wujud solidaritas yang salah, tidak proporsional
dan salah alamat. “Terlebih masyarakat
jadi korban, kepentingan umum terabaikan. Mirip aksi buruh yang membabi buta,”tambahnya.
Menurut Gandjar, pada prinsipnya tidak ada
pekerjaan atau profesi yang otomatis tidak bisa dipidana atau kebal hukum. "Profesi dan jabatan secara umum malah
seharusnya memperberat risiko hukum, bukan membebaskan dari saksi hukum,"
tutur Gandjar. Gandjar memberi
perumpamaan sebuah kasus. "Contohnya,
orang bisa bertindak cabul. Tapi kalau tindakan cabul dilakukan oleh dokter
kandungan yang memanfaatkan profesinya, dilakukan terhadap pasiennya, pidananya
harus lebih berat dari orang biasa," tambahnya lagi.
Cibiran masyarakat mengenai aksi mogok untuk
solidaritas para dokter ini juga banyak dilontarkan di jejaring sosial Twitter. [4]Seperti salah satu tweetnya Mbah Sujiwo Tejo dengan akun @sudjiwotedjo “Waktu
Susan pengen jadi dokter, cita2nya nyuntik, bukan mogok.” Lain
lagi postingan yang satu ini. “Kalau saja solidaritas dokter
ini menggugat pemerintah korup yg bikin warga tidak mendapat layanan kesehatan
yg baik mungkin ceritanya lain,” demikian kicau Gustaff H Iskandar dengan akun @gsff. [5]Komentar miring diluncurkan oleh pemilik akun @indrawanbabil yang mengatakan “Buruh
sama dokter emang kerjaannya bukan unjuk rasa? Tapi liat potensi yg dirugikan
banyak mana? Antara unjuk rasa buruh n dokter?” Komentar dengan nada sinis juga diloantarkan oleh
pemilik akun @aulia_ipank yang
mengatakan, “Mogok itu hak, tapi apakah
melanggar sumpah tdk termasuk bentuk pelanggaran hukum*dokter tidak kebal
hukum.”
Begitu
banyak respon negatif dari masyarakat akan aksi mogok para dokter. Apa yang
sebenarnya mereka inginkan? Jika melihat dari sisi etika, apakah ini etika
seorang dokter untuk menelantarkan pasien demi melakukan aksi mogok yang
menurut saya tidak pantas dilakukan oleh orang-orang terdidik?
Menurut Martin (1993), etika
didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the performance index or
reference for our control system” Dalam pengertiannya
yang secara khusus
dikaitkan
dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan
(code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip
moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi
segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai
menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi
dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan
diterapkan dari dan untuk kepenringan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.
[6]Sesuai dengan isi Sumpah Dokter yang
tertera, terdapat sumpah no. 7 “Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan
pasien, dengan memperhatikan kesehatan masyarakat.” Di mana dalam kode
etik kedokteran, kewajiban umum seorang dokter Pasal 1 yaitu “Setiap dokter harus menjunjung tinggi,
menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.” Namun, bisa kita lihat
dengan aksi tersebut mereka para dokter telah melanggar sumpah yang telah
mereka ucapkan serta kewajiban yang tertera pada kode etik kedokteran. [7]Selain
itu juga Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) melaporkan aksi unjuk rasa
para dokter ke Lembaga Ombudsmen Swasta (LOS) Jawa Barat. HLKI menetapkan
pelanggaran UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen, UU Pelayanan Publik, dan
Kode Etik Kedokteran menurut berita yang dilansir Bandungokezone.com. Laporan
itu di anggap tenang oleh POGI karena mereka merasa tidak melakukan kesalahan.
Dari
pernyataan diatas, saya mengerti apa yang ingin para dokter tersebut
perjuangkan. Mereka mengatakan bahwa apa yang dilakukan terhadap dr.Ayu dan
rekannya adalah sebuah kriminalitas. Vonis yang dijatuhkan MA terhadap profesi
dokter ini memang akan menimbulkan dampak psikologis bagi para dokter.
Timbulnya rasa khawatir saat melakukan tindakan medis, jika pada akhirnya nanti
bisa dipidanakan oleh pasiennya. Namun, sekiranya para dokter juga harus
mengerti bahwa adanya prinsip equality
before the law atau semua pihak sama di depan hukum. Yang dimana artinya
bahwa semua pihak lapisan masyarakat hingga presiden pun kedudukannya sama di
depan hukum dan bisa menghadapi proses pidana.
Saya
pribadi malah berpikir bahwa apakah semua dokter ini ingin membentengi diri karena mungkin apa yang mereka lakukan hampir
sama dengan yang dilakukan dr.Ayu dan takut apabila akan dipidanakan? Sebuah
aksi yang membuang energi dan semakin membuat masalah. [8]Mungkin
kita harus belajar dari apa yang terjadi oleh dokter senior di Inggris David
Sellu. dinyatakan
bersalah setelah melakukan tindakan malpraktek terhadap pasiennya. Dr
David Sellu dihukum selama 2,5 tahun setelah terbukti melakukan
pembunuhan (manslaughter) terhadap James Hughes (66 tahun) setelah
membiarkannya tanpa memberikan treatment
padahal sang dokter tahu bahwa si pasien dalam kondisi yang membahayakan (life-threatening condition).
Dokter tersebut mengabaikan keadaan pasien yang dirujuk kepadanya tersebut dan
melanjutkan praktek di kliniknya. Si pasien, James Hughes akhirnya meninggal
dunia.
Jaksa dalam kasus ini
mengatakan: “This doctor’s actions were not mistakes or errors of judgement
but negligence so serious that he has now been convicted of a criminal offence”
. Jadi dalam kasus ini, sang dokter tidak melakukan kesalahan dalam
mendiagnosa pasien, tetapi diabaikannya pasienlah yang mengakibatkan tindakannya
dinyatakan sebagai perbuatan kriminal. Dokter Sellu-pun menerima putusan
tersebut dengan lapang dada. Asosiasi dokter Inggrispun tidak melakukan
protes, terlebih melakukan mogok nasional. Semua sadar bahwa tindakan
dokter itu adalah illegal dan tidak professional, sehingga pantas
mendapat hukuman.
Lalu bagaimana dengan
Indonesia? Mogok masal serta menyalurkan aspirasi ke jalanan melakukan
demonstrasi besar-besaran secara serentak di seluruh Indonesia memang di
benarkan. Tapi apakah tidak ada cara yang lain yang dapat dilakukan? Seperti
yang saya katakan di awal, masih banyak cara yang lebih “pintar” bagi mereka
orang-orang terdidik untuk menyampaikan aspirasi serta tuntutan mereka. Misalnya,
IDI atau pihak yang terkait kasus dr Ayu menanyakan langsung ke MA dan
melakukan peninjauan kembali (PK). Atau dapat meminta bantuan pemerintah
seperti Kementrian Kesehatan, atau meminta dukungan politik kepada parlemen
untuk mempertanyakan keputusan MA. Banyak cara-cara yang lebih elegan yang
dapat dilakukan para dokter sebagai orang terdidik.
Intinya
adalah aksi mogok yang dilakukan para dokter menurut saya sudah melanggar etika
sebagai dokter yang telah bersumpah dan menjadi kewajiban untuk melakukan
pelayanan kepada publik dan menimbulkan banyak kerugian bagi pasien. Etika
untuk penyampaian aspirasi yang lebih elegan seharusnya bisa dilakukan oleh
para dokter, tidak harus turun ke jalan yang mengakibatkan timbulnya masalah
yang baru. Bukan menyelesaikan tapi menambah daftar masalah. Semoga untuk
kedepannya, para dokter tidak mengulang hal yang sama dan dapat bertindak
secara etis dan elegan.
[1] Republika.co.id
Purwokerto. 2013. Poliklinik Tutup karena Dokter Mogok, Pasien: Dokter Permainkan Nyawa
Manusia. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/11/27/mwwi48-poliklinik-tutup-karena-dokter-mogok-pasien-dokter-permainkan-nyawa-manusia).
Jumat, 13 Desember 2013.
[2] Batampos.co.id. 2013. Wawako Ngaku Tak Dukung Aksi Mogok Dokter di
Batam. http://batampos.co.id/2013/11/27/wawako-ngaku-tak-dukung-aksi-mogok-dokter-di-batam/
. Sabtu, 14 Desember 2013
[3]
News detik.com. 2013. Aksi para Dokter
Mogok Solider pada dr. Ayu Dikritik Ahli Hukum UI. http://news.detik.com/read/2013/11/26/142938/2423901/10/aksi-para-dokter-mogok-solider-pada-dr-ayu-dikritik-ahli-hukum-ui
. Sabtu, 14 Desember 2013.
[4]
Kompas.com.
2013. Publik Mencibir Dokter. http://nasional.kompas.com/read/2013/11/27/1931025/Publik.Mencibir.Dokter
. Jumat, 13 Desember 2013
[5] Solopos.com. 2013. Kasus dr Ayu Demo Dokter Langgar Sumpah.
http://www.solopos.com/2013/11/27/kasus-dr-ayu-demo-dokter-langgar-sumpah-469038
. Jumat, 13 Desember 2013
[6] ______. _____ . Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Etika Kedokteran
Indonesia. http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/Kode-Etik-Kedokteran.pdf
. Sabtu, 14 Desember 2013
[7]
Bandungokezone.com.
2013. Demo Dokter Dilaporkan ke Ombudsmen Ini Tanggapan POGI. http://bandung.okezone.com/read/2013/11/28/526/904349/demo-dokter-dilaporkan-ke-ombudsman-ini-tanggapan-pogi
. Jumat, 13 Desember 2013
[8]
bbc.co.uk. 2013. David Sellu trial : Jail for doctor in manslaughter case. http://www.bbc.co.uk/news/uk-england-london-24825665
. Sabtu, 14 Desember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar