Senin, 06 Januari 2014

“Demo Kaum Terdidik Dapat Lebih Etis dan Elegan”

Aksi mogok dokter tanggal 27 November 2013 silam, memang banyak mengundang kontroversial yang pelik. Aksi mogok solidaritas ini merupakan keputusan Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) yang kemudian IDI (Ikatan Dokter Indonesia) mendukung aksi ini dan diselenggarakan serentak di seluruh Indonesia. Aksi mogok ini dilakukan mereka para dokter untuk turut prihatin serta rasa solidaritas para dokter se-Indonesia yang menimpa dr.Dewa Ayu Sasiary Prawani beserta dua rekannya yaitu dr.Hendry Simanjuntak dan dr.Hendy Siagian yang mendapat hukum pidana yang dijatuhkan MA masing-masing 10 bulan karena telah melanggar etika kedokteran dan SPO praktik kedokteran. Para dokter turun ke jalan dengan stelan rapi ala dokter, spanduk-spanduk atau tulisan-tulisan sebagai rasa simpatik mereka serta untuk menyuarakan pendapat mereka sebagai dokter.
Dengan kejadian tersebut, banyak menuai tanggapan positif maupun negatif dari banyak kalangan. Sudut pandang publik yang mendapat pelayanan buruk pada saat aksi mogok tersebut pasti akan memberi tanggapan yang negatif dan justru mencibir para dokter karena telah melanggar kode etik kedokteran yang seharusnya melayani publik. Namun, sudut pandang berbeda datang dari sisi para dokter yang turut merasakan apa yang diterima oleh tiga rekannya. Mereka akan melihat aksi mogok ini merupakan aksi unjuk gigi bahwa profesi dokter tidak dapat dimainkan oleh hukum. Pengambilan tindakan tanpa melihat dari sudut pandang etika kedokteran.
Kemudian, berada dipihak manakah saya berdiri? Saya pribadi sangat menyayangkan apa yang dilakukan para dokter di jalanan. Bukan menarik simpatik dari saya, malahan membuat saya berpikir apakah ini pemikiran orang-orang terdidik yang memilih jalur untuk mogok dan berduyun-duyun mengitari jalan raya menyuarakan pendapat mereka? Apakah mereka sebagai orang terdidik tidak memiliki cara yang lebih “pintar” untuk menarik simpatik masyarakat akan rasa solidaritas mereka terhadap 3 rekan mereka? Beberapa pertanyaan tersebut berdampak pada tindakan yang dilakukan para dokter.
[1]Menurut berita yang dilansir oleh republika.co.id Endang (47 tahun), seorang warga Baturaden yang hendak berobat jalan di RSU Margono, mengaku datang sejak pukul 06.30 di RSU Margono guna agar tidak menunggu lama untuk mendapat pengobatan. Namun, beliau menyesalkan aksi mogok para dokter tersebut, karena secara tidak langsung para dokter tersebut telah ‘bermain-main’ dengan nyawa manusia. Tidak hanya warga Baturaden yang mengeluh, banyak daerah hampir di seluruh Indonesia mengeluh akan aksi ini. [2]Wawako Batam pun, tidak mendukung akan aksi solidaritas yang dilakukan para dokter. Menurut berita Batam Pos, wawako Rudi ikut nimbrung untuk meminta para dokter kembali menjalankan aktifitas mereka untuk memberi pelayanan kepada masyarakat. “Jujur saya tak mendukung aksi ini, karena banyak masyarakat yang sedang butuh pelayanan. Saya akan biarkan mereka menyampaikan kepedulian. Selesai ini barulah saya himbau agar mereka kembali beraktifitas,” terang Rudi. 
Komentarpun datang dari pengajar hukum pidana UI, Gandjar Bondan. [3]Gandjar menilai aksi mogok itu sebagai wujud solidaritas yang salah, tidak proporsional dan salah alamat. “Terlebih masyarakat jadi korban, kepentingan umum terabaikan. Mirip aksi buruh yang membabi buta,”tambahnya. Menurut Gandjar, pada prinsipnya tidak ada pekerjaan atau profesi yang otomatis tidak bisa dipidana atau kebal hukum. "Profesi dan jabatan secara umum malah seharusnya memperberat risiko hukum, bukan membebaskan dari saksi hukum," tutur Gandjar. Gandjar memberi perumpamaan sebuah kasus. "Contohnya, orang bisa bertindak cabul. Tapi kalau tindakan cabul dilakukan oleh dokter kandungan yang memanfaatkan profesinya, dilakukan terhadap pasiennya, pidananya harus lebih berat dari orang biasa," tambahnya lagi.
Cibiran masyarakat mengenai aksi mogok untuk solidaritas para dokter ini juga banyak dilontarkan di jejaring sosial Twitter. [4]Seperti salah satu tweetnya Mbah Sujiwo Tejo dengan akun @sudjiwotedjo “Waktu Susan pengen jadi dokter, cita2nya nyuntik, bukan mogok.” Lain lagi postingan yang satu ini.  Kalau saja solidaritas dokter ini menggugat pemerintah korup yg bikin warga tidak mendapat layanan kesehatan yg baik mungkin ceritanya lain,demikian kicau Gustaff H Iskandar dengan akun @gsff. [5]Komentar miring diluncurkan oleh pemilik akun @indrawanbabil yang mengatakan “Buruh sama dokter emang kerjaannya bukan unjuk rasa? Tapi liat potensi yg dirugikan banyak mana? Antara unjuk rasa buruh n dokter?” Komentar dengan nada sinis juga diloantarkan oleh pemilik akun @aulia_ipank yang mengatakan, “Mogok itu hak, tapi apakah melanggar sumpah tdk termasuk bentuk pelanggaran hukum*dokter tidak kebal hukum.”
            Begitu banyak respon negatif dari masyarakat akan aksi mogok para dokter. Apa yang sebenarnya mereka inginkan? Jika melihat dari sisi etika, apakah ini etika seorang dokter untuk menelantarkan pasien demi melakukan aksi mogok yang menurut saya tidak pantas dilakukan oleh orang-orang terdidik?
Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the performance index or reference for our control system” Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepenringan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.
[6]Sesuai dengan isi Sumpah Dokter yang tertera, terdapat sumpah no. 7 “Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dengan memperhatikan kesehatan masyarakat.” Di mana dalam kode etik kedokteran, kewajiban umum seorang dokter Pasal 1 yaitu “Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.” Namun, bisa kita lihat dengan aksi tersebut mereka para dokter telah melanggar sumpah yang telah mereka ucapkan serta kewajiban yang tertera pada kode etik kedokteran. [7]Selain itu juga Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) melaporkan aksi unjuk rasa para dokter ke Lembaga Ombudsmen Swasta (LOS) Jawa Barat. HLKI menetapkan pelanggaran UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen, UU Pelayanan Publik, dan Kode Etik Kedokteran menurut berita yang dilansir Bandungokezone.com. Laporan itu di anggap tenang oleh POGI karena mereka merasa tidak melakukan kesalahan.
            Dari pernyataan diatas, saya mengerti apa yang ingin para dokter tersebut perjuangkan. Mereka mengatakan bahwa apa yang dilakukan terhadap dr.Ayu dan rekannya adalah sebuah kriminalitas. Vonis yang dijatuhkan MA terhadap profesi dokter ini memang akan menimbulkan dampak psikologis bagi para dokter. Timbulnya rasa khawatir saat melakukan tindakan medis, jika pada akhirnya nanti bisa dipidanakan oleh pasiennya. Namun, sekiranya para dokter juga harus mengerti bahwa adanya prinsip equality before the law atau semua pihak sama di depan hukum. Yang dimana artinya bahwa semua pihak lapisan masyarakat hingga presiden pun kedudukannya sama di depan hukum dan bisa menghadapi proses pidana.
            Saya pribadi malah berpikir bahwa apakah semua dokter ini ingin membentengi diri  karena mungkin apa yang mereka lakukan hampir sama dengan yang dilakukan dr.Ayu dan takut apabila akan dipidanakan? Sebuah aksi yang membuang energi dan semakin membuat masalah. [8]Mungkin kita harus belajar dari apa yang terjadi oleh dokter senior di Inggris David Sellu. dinyatakan bersalah setelah melakukan tindakan malpraktek terhadap pasiennya.  Dr David Sellu dihukum selama 2,5 tahun setelah terbukti  melakukan pembunuhan (manslaughter) terhadap James Hughes (66 tahun) setelah membiarkannya tanpa memberikan treatment padahal sang dokter tahu bahwa si pasien dalam kondisi yang membahayakan (life-threatening condition).  Dokter tersebut mengabaikan keadaan pasien yang dirujuk kepadanya tersebut dan melanjutkan praktek di kliniknya. Si pasien, James Hughes akhirnya meninggal dunia.
            Jaksa dalam kasus ini mengatakan: “This doctor’s actions were not mistakes or errors of judgement but negligence so serious that he has now been convicted of a criminal offence” .  Jadi dalam kasus ini, sang dokter tidak melakukan kesalahan dalam mendiagnosa pasien, tetapi diabaikannya pasienlah yang mengakibatkan tindakannya dinyatakan sebagai perbuatan kriminal.  Dokter Sellu-pun menerima putusan tersebut dengan lapang dada.  Asosiasi dokter Inggrispun tidak melakukan protes, terlebih melakukan mogok nasional.  Semua sadar bahwa tindakan dokter  itu adalah illegal dan tidak professional, sehingga pantas mendapat hukuman.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Mogok masal serta menyalurkan aspirasi ke jalanan melakukan demonstrasi besar-besaran secara serentak di seluruh Indonesia memang di benarkan. Tapi apakah tidak ada cara yang lain yang dapat dilakukan? Seperti yang saya katakan di awal, masih banyak cara yang lebih “pintar” bagi mereka orang-orang terdidik untuk menyampaikan aspirasi serta tuntutan mereka. Misalnya, IDI atau pihak yang terkait kasus dr Ayu menanyakan langsung ke MA dan melakukan peninjauan kembali (PK). Atau dapat meminta bantuan pemerintah seperti Kementrian Kesehatan, atau meminta dukungan politik kepada parlemen untuk mempertanyakan keputusan MA. Banyak cara-cara yang lebih elegan yang dapat dilakukan para dokter sebagai orang terdidik.
            Intinya adalah aksi mogok yang dilakukan para dokter menurut saya sudah melanggar etika sebagai dokter yang telah bersumpah dan menjadi kewajiban untuk melakukan pelayanan kepada publik dan menimbulkan banyak kerugian bagi pasien. Etika untuk penyampaian aspirasi yang lebih elegan seharusnya bisa dilakukan oleh para dokter, tidak harus turun ke jalan yang mengakibatkan timbulnya masalah yang baru. Bukan menyelesaikan tapi menambah daftar masalah. Semoga untuk kedepannya, para dokter tidak mengulang hal yang sama dan dapat bertindak secara etis dan elegan.






[1]   Republika.co.id Purwokerto. 2013. Poliklinik Tutup karena Dokter Mogok, Pasien: Dokter Permainkan Nyawa Manusia. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/11/27/mwwi48-poliklinik-tutup-karena-dokter-mogok-pasien-dokter-permainkan-nyawa-manusia). Jumat, 13 Desember 2013.

[2] Batampos.co.id. 2013. Wawako Ngaku Tak Dukung Aksi Mogok Dokter di Batam. http://batampos.co.id/2013/11/27/wawako-ngaku-tak-dukung-aksi-mogok-dokter-di-batam/ . Sabtu, 14 Desember 2013
[3] News detik.com. 2013. Aksi para Dokter Mogok Solider pada dr. Ayu Dikritik Ahli Hukum UI. http://news.detik.com/read/2013/11/26/142938/2423901/10/aksi-para-dokter-mogok-solider-pada-dr-ayu-dikritik-ahli-hukum-ui . Sabtu, 14 Desember 2013.
[4]  Kompas.com. 2013. Publik Mencibir Dokter. http://nasional.kompas.com/read/2013/11/27/1931025/Publik.Mencibir.Dokter . Jumat, 13 Desember 2013
[5] Solopos.com. 2013. Kasus dr Ayu Demo Dokter Langgar Sumpah. http://www.solopos.com/2013/11/27/kasus-dr-ayu-demo-dokter-langgar-sumpah-469038 . Jumat, 13 Desember 2013
[6] ______. _____ . Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Etika Kedokteran Indonesia. http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/Kode-Etik-Kedokteran.pdf . Sabtu, 14 Desember 2013
[7] Bandungokezone.com. 2013.  Demo Dokter Dilaporkan ke Ombudsmen Ini Tanggapan POGI. http://bandung.okezone.com/read/2013/11/28/526/904349/demo-dokter-dilaporkan-ke-ombudsman-ini-tanggapan-pogi . Jumat, 13 Desember 2013
[8] bbc.co.uk. 2013.  David Sellu trial : Jail for doctor in manslaughter casehttp://www.bbc.co.uk/news/uk-england-london-24825665 . Sabtu, 14 Desember 2013. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar