Senin, 14 Oktober 2013

“JAGAL” Bukti Sejarah Kelam Indonesia

          Dewasa ini perkembangan komunikasi dengan implikasinya terhadap sosial sangat cepat. Muncul banyak inovasi baru dalam persebaran informasi yang menjadi pokok tujuan dari komunikasi sendiri. Seperti video, film, internet, sosial media, dan e-book. Semua contoh tersebut menawarkan nilai-nilai yang diusungnya yaitu kecepatan dalam penyampaian informasi kepada khalayak luas atau dalam komunikasi massa disebut sebagai massa atau public. Menurut Deddy Mulyana dalam bukunya “Teori Komunikasi Suatu Pengantar” menjelaskan bahwa komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim, dan heterogen (Mulyana 2007: 83). Sedangkan media menurut John Hartley dalam bukunya “Communication, Cultural, & Media Studies” mengartikan bahwa materi apapun, dimana melaluinya hal-hal lain dapat disampaikan. Media komunikasi karena itu merupakan sarana apa saja yang dengannya pesan bisa ditransmisikan (Hartley 2004: 164). Dari hal itulah sudah terlihat jelas bahwa media dapat dikatakan sangat penting untuk menyebarkan informasi.
        Paper ini mengangkat media film “JAGAL” sebagai analisis dalam komunikasi massa. Film ini menceritakan sejarah yang hilang, yang menceritakan bagaimana cara pembantaian anggota PKI di masa orde baru yang dilakukan oleh Anwar Congo dan teman-temannya. Anwar Congo dahulu adalah seorang preman yang bekerja sebagai pencatut karcis di sebuah bioskop di Medan, Sumatera Utara. Namun karena kerusuhan yang diakibatkan PKI, Presiden Soeharto mencari antek-antek untuk membasmi PKI. Para preman direkrut untuk bekerja sama dengan Pemuda Pancasila untuk “membersihkan” orang-orang yang dituduh sebagai anggota komunis. “Membersihkan” di sini berarti melenyapkan atau bahasa sederhananya adalah membunuh.
       Dalam film ini diceritakan bahwa Anwar Congo mengakui akan kesalahannya karena telah membunuh ratusan anggota PKI. Ia juga menggambarkan cara-cara ketika Ia membunuh anggota PKI. “Tertuduh PKI” bukanlah semua orang yang ikut dalam anggota PKI tersebut, namun orang-orang yang ketika itu dianggap sebagai musuh pemerintah dan juga orang-orang etnis tionghoa yang tidak mau membayar uang keamanan.
           Film Jagal atau Act of Killing dibuat oleh seorang sutradara dari Amerika Serikat yang bernama Joshua Oppenheimer sebagai syarat untuk mendapatkan gelar S3. Pemutaran perdana film ini bukanlah di Indonesia yang sebagai tempat dan obyek besar pengambilan filmnya melainkan dalam sebuah festival film dokumenter di Toronto. Hal ini sangat disayangkan, film yang seharusnya menjadi sebuah refleksi bagi bangsa Indonesia bukannya ditonton di negaranya sendiri melainkan di negara orang.
             Dalam tayangan perdana, film ini memperoleh penghargaan sebagai film dokumenter terbaik. Setelah ditayangkan pada beberapa festival film di Eropa lainnya seperti di Inggris, film ini juga terus menerus mendapatkan penghargaan dan pujian dari audiens yang telah menyaksikan.
           Film yang dibuat oleh Joshua Oppenheimer ini bisa dikategorikan menjadi film dokumenter sejarah yang tidak hanya menampilkan sisi baik saja melainkan terdapat sisi buruknya. Hal tersebut dikarenakan isi film ini juga memperlihatkan kekejaman pemerintahan orde baru dalam pembantaian PKI. Film ini tidak selayaknya berfungsi sebagai media komunikasi massa karena terdapat halangan dalam mempublikasikan film Jagal ke khalayak luas. Menurut Nicolaus Sulistyo sebagai Presiden BEM Fisip UAJY, larangan ini disebabkan adanya unsur kepentingan nama baik seseorang maupun kelompok di dalam film tersebut di mana jika film ini tersebar akan merusak citra mereka. Mereka adalah Organisasi Pemuda Pancasila, Bapak Jusuf Kalla, serta beberapa pejabat pemerintah yang saat ini masih berperan aktif dalam menggerakkan roda pemerintah. Dalam film tersebut Pemuda Pancasila sebagai salah satu organisasi pemuda terbesar ikut ambil andil dalam pembantaian PKI. Keikutsertaan ini dapat merusak citra Pemuda Pancasila atau PP. Dimana seharusnya sebagai organisasi yang berlandaskan Pancasila, PP tidak akan melakukan pembunuhan kepada anggota PKI tersebut. Jika film ini disebar, citra PP sebagai organisasi yang berlandasakan Pancasila akan rusak di mata masyarakat. Nico juga berkata,“Tunggu saja hingga 4-5 tahun kemudian, ketika pemerintah yang berkuasa sekarang sudah berganti dengan yang baru, film Jagal ini pasti akan diputar bebas.”
            Begitu juga dengan Andreas Harsono, seorang peneliti HAM di Yayasan Pantau. Dalam Seminar CFRC, beliau mengatakan bahwa film ini selayaknya ditonton oleh generasi muda karena banyak pelajaran yang dapat diambil dari film tersebut. Salah satunya adalah melihat permasalahan dari dua perspektif dimana pertama kita melihat kekejaman G30S/PKI terhadap bangsa Indonesia yang kemudian dengan adanya film Jagal, kita dapat membandingkan bahwa bangsa Indonesia tidak kalah kejamnya dengan PKI tersebut. Kemudian dari sisi pelanggaran HAM berat yang dilakukan saat orde baru dimana hingga sekarang kasusnya tidak diusut dengan jelas dan tuntas.
        Menurut kami, film jagal ini baik untuk ditonton kepada khalayak terutama generasi muda karena film ini bisa menjadi sumber refleksi dari bangsa Indonesia akan sejarah kelam masa lalu dan memberikan masyarakat sedikit banyak informasi baru mengenai kelamnya sejarah Indonesia, karena bagaimanapun juga sejarah adalah sejarah. Tidak akan bisa dihapuskan.
           Sayangnya, film ini hanya dapat kita saksikan secara sembunyi-sembunyi karena film ini dilarang oleh pemerintah. Sebagai contohnya adalah menurut Langitantyo Tri Gezar seorang mahasiswa FISIPOL UI 2010, pada tahun lalu sempat diadakan acara untuk menyaksikan film ini secara bersama-sama di Fakultas Ilmu Budaya UI. Namun, penanggungjawab acara itu dipanggil oleh pihak berwajib dan dimintai pertanggungjawabannya.
           
Harapan ke depannya film ini bisa menjadi acuan pembelajaran bagi masyarakat agar tidak melakukan hal-hal yang keji serupa seperti pembantaian massal atau genosida. Serta tidak adanya lagi pelanggaran HAM berat yang dilakukan bangsa Indonesia di masa mendatang.Pembuatan sebuah film apapun bukanlah hal yang simple. Tapi dengan adanya crew seperti sutradara Joshua Oppenheimer membuat adanya makna yang diangkat dan dikomunikasikan kepada public. Contohnya film “JAGAL, the act of killing”.

DAFTAR PUSTAKA
Mulyana, Deddy. 2011. Teori Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: Rosda Karya.
Hartley John, 2004, Communication, Cultural & Media Studies: The Key Concepts, London: Routledge.
Citizen Jurnalism. 2012. Sebuah Pengakuan Mengejutkan Anwar Congo “Sang Pembantai PKI”. http://www.citizenjurnalism.com/hot-topics/pengakuan-anwar-congo-sang-pembantai-pki/ . Diakses pada Selasa, 18 Juni 2013.

Sabtu, 05 Oktober 2013

Advertising, Publisitas, Marketing, Public Relations

Nama Kelompok :
Yhosafat Bagus K.A               120904842
Onma Try Putra                      120904786
Astasari Dharmesti                 120904586
Cecilia Pretty G.                      120904564
Aditya A. Aditama                  120904553

Definisi
Advertising        : Komunikasi melalui media, advertising mempunyai kontrol atas isi dan penempatan.  (Cutlip, Center dan Broom, 2006 : 14)
                           : Periklanan merupakan pesan-pesan penjualan paling persuasif yang diarahkan kepada calon konsumen yang paling potensial atas produk barang atau jasa tertentu dengan biaya yang palin ekonomis.
                           : Kegiatan menarik perhatian publik untuk membeli barang atau jasa melalui media. Periklanan adalah salah satu teknik pemasaran disamping kegiatan PR, penjualan dan sales promotion. (Hardiman, 2006 : 2)

Marketing           : Sebagai proses sosial dengan mana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka lakukan dan inginkan dengan menciptakan dan mempertukarkan produk dan nilai dengan individu dan kelompok lainnya. (Kottler,1990)

Marketing Mix  : represents the collection of all elements in an organization’s marketing mix that facilitate exchanges by establishing shared meaning with the organization’s customers or clients. (Shimp, 1993 : 8)
: Merupakan kegiatan dalam marketing yang didalamnya terdapat 4 prinsip pemasaran, yang bertujuan untuk meningkatkan penjualan produk dan pelayanan, PR di butuhkan oleh marcom untuk fungsi promosi (periklanan, publisitas, packaging, tradeshow dan display, special events). Dalam marcom ada strategi pemasaran yang lebih luas dari sekedar kegiatan promosi dan periklanan karena meliputi kegiatan PR. (Hardiman, 2006 : 73)

Promotions         : are often regarded as a more direct form of persuasion, based frequently on external incentives rather than inherent product benefits, designed to stimulate immediate purchase and to “move sales forward” more rapidly than would otherwise occur. (Rossiter dan Percy, 1997 : 3)
                           : salah satu dari empat unsur pemasaran. Kegiatan promosi sendiri merupakan gabungan kegiatan : iklan, penjualan, sales promotion, publisitas dan PR. (Hardiman, 2006 : 100)

Publisitas            : Mempopulerkan keunggulan organisasi untuk mendapat liputan di media-media potensial melalui kegiatan atau berita yang strategis. Kegiatan publisitas harus menarik perhatian media dan masyarakat, agar menjadi perbincangan luas. Keunggulan publisitas adalah biaya sangat rendah karena tidak memasang iklan, mis jika kegiatan tsb diliputi dan disiarkan di program berita sore TV. (Hardiman, 2006 : 108)
                           : Informasi yang disediakan oleh sumber luar yang digunakan oleh media karena informasi itu memiliki nilai berita. Contoh dalam pers realese.
                          

Penjelasan :

                   Dari gambar disamping, dapat kita ketahui bahwa dalam suatu perusahaan terdapat bagian Marketing Mix yang biasa disebut perpaduan pemasaran. Marketing Mix dibagi menjadi empat bagian, yaitu Product, Price, Place, Promotion. Di dalam bagian Promotion, terdapat beberapa alat (tools) dimana Public Relations dan Advertising masuk ke dalam tools tersebut.  Tetapi ke dua tools tersebut memiliki peran yang berbeda. Public Relations berperan untuk membangun relasi antar pihak internal dan pihak eksternal suatu perusahaan, melaksanakan publisitas, dan menyamakan persepsi. Membangun relasi yang dimaksud, seperti kerja sama antar perusahaan, membuat suatu event, dan lain – lain. Publisitas suatu perusahaan yang dilakukan Public Relations seperti menyebarkan pers release untuk menarik media, mengadakan event dengan banyak sponsorship yang saling menguntungkan. Sedangkan advertising berfokus pada menanamkan brand suatu produk perusahaan pada benak khalayak dan packaging suatu produk. Untuk membuat calon konsumen akan tertarik melihat, memilih, memakai, atau mengkonsumsi produk yang di tawarkan.

       
             
Daftar Pustaka

Cutlip, Scott M, dkk. (2011). Effective Public Relations. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Hardiman, Ima. (2006). 400 Istilah PR Media dan Periklanan. Jakarta: Gagas Ulung Publisher.
Jones, John Philip. (1998). How Advertising Work: The Role of Research. United States of America: SAGE Publications, Inc.
Rossiter, John R dan Larry Percy. (1996). Advertising Communications and Promotion Management. New York: McGraw-Hill.
Shimp, Terence A. (1993). Promotion Management and Marketing Communications. United States of America: The Dryden Press.

Widyatama, Rendra. (2005). Pengantar Periklanan. Jakarta Pusat : Buana Pustaka Indonesia. 

Komunikasi Interpersonal


  1. Definisi Komunikasi Interpersonal

Tidak asing bagi kita membaca atau mendengar istilah komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi. Istilah ini tampak sederhana. Pemahaman masyarakat luas mengenai komunikasi, justru mengesankan pengertian komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal merupakan suatu proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain/pihak lain. Menurut pemahaman seperti ini, komunikasi dikaitkan dengan pertukaran informasi yang bermakna dan harus membawa hasil di antara orang-orang yang berkomunikasi. Komunikasi interpersonal menghendaki informasi atau pesan dapat tersampaikan dan hubungan di antara orang yang berkomunikasi dapat terjalin. Oleh karena itu setiap orang apapun tujuan mereka, dituntut memiliki keterampilan komunikasi interpersonal agar mereka bisa berbagi informasi, bergaul dan menjalin kerjasama untuk bisa bertahan hidup.
Komunikasi interpersonal diartikan Mulyana (2000: 73) sebagai komunikasi antara orang-orang secara tatap-muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun non verbal. Ia menjelaskan bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi adalah komunikasi diadik yang melibatkan hanya dua orang, seperti seorang guru dengan murid. Komunikasi demikian menunjukkan: pihak-pihak yang berkomunikasi berada dalam jarak yang dekat dan mereka saling mengirim dan menerima pesan baik verbal ataupun non-verbal secara simultan dan spontan.
Dari berbagai sumber misalnya Hardjana, A.M.,(2003), Yuyun Wirasasmita (2002), Joseph A. DeVito (2007), Richard West dan Lynn H. Turner (2006) dan Onong U. Effendi (2005), selengkapnya dapat dibaca dalam makalah penulis (Sursono, 2008), dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal pada dasarnya merupakan komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang bersifat langsung dan dialogis. Langsung dan dialogis yang dimaksud adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam proses komunikasi dapat diketahui pada saat itu juga, misalnya kalau ada yang kurang jelas maka dapat ditanyakan dan dijawab pada saat itu sehingga diharapkan dapat lebih efektif. Dengan proses komunikasi yang langsung, dialogis dan berjalan secara akrab diharapkan akan memberikan dampak yang lebih kuat pengaruhnya bagi pihak lain yang mendengar dan melihat apa yang menjadi pokok pembicaraan.
Menurut Kathleen S. Verderber et al. (2007), komunikasi antarpribadi/intrapersonal merupakan proses melalui mana orang menciptakan dan mengelola hubungan mereka, melaksanakan tanggung jawab secara timbal balik dalam menciptakan makna.
Karakteristik-karakteristik komunikasi intrapersonal menurut Richard L. Weaver II (1993) :
1.      Melibatkan paling sedikit dua orang
2.      Adanya umpan balik / feedback
3.      Tidak harus tatap muka. Penggunaan media adalah sarana yang dilakukan.
4.      Tidak harus bertujuan. Penyampaian pesan yang secara tidak sadar terlontarkan.
5.      Menghasilkan beberapa pengaruh atau effect .
6.      Tidak harus melibatkan atau menggunakan kata-kata.
7.      Dipengaruhi oleh konteks.
8.      Dipengaruhi oleh kegaduhan atau noise




  1. Tujuan Komunikasi Interpersonal

Tujuan komunikasi interpersonal sebagaimana dikemukakan DeVito (1992: 13-14), yaitu:
1.      Untuk mempelajari secara lebih baik dunia luar, seperti berbagai objek, peristiwa dan orang lain. Meskipun informasi tentang dunia luar itu kita kenal umumnya melalui mass-media, tetapi hal itu pada akhirnya seringkali didiskusikan, dipelajari, diinternalisasi melalui komunikasi interpersonal. Nilai-nilai, sistem kepercayaan, dan sikap-sikap nampaknya lebih banyak dipengaruhi oleh pertemuan interpersonal daripada dipengaruhi media bahkan sekolah. Oleh karena itu komunikasi interpersonal sebenarnya memberi peluang kepada kita untuk belajar tentang diri kita sendiri. Sangat mungkin hal itu menarik perhatian atau mengejutkan dan bahkan amat berguna karena yang dibicarakan perasaan kita, pemikiran kita dan perilaku kita sendiri. Selanjutnya, melalui komunikasi interpersonal kita mengevaluasi keadaan diri kita untuk kemudian kita membandingkannya dengan kondisi sosial orang lain. Cara seperti ini menghasilkan self-concept yang makin berkembang dan mendorong perluasan pengetahuan dan keterampilan yang pada akhirnya melakukan perubahan/inovasi.
2.      Untuk memelihara hubungan dan mengembangkan kedekatan atau keakraban. Melalui komunikasi interpersonalkita berkeinginan untuk menjalin rasa cinta dan kasih sayang. Di samping cara demikian mengurangi rasa kesepian atau rasa depresi, komunikasi interpersonal bertujuan membagi dan meningkatkan rasa bahagia yang pada akhirnya mengembangkan perasaan positif tentang diri kita sendiri. Kita diajari tidak boleh iri, dengki, dendam, saling fitnah dan saling bunuh; kita semua akan mati dan dikuburkan orang lain.
3.      Untuk mempengaruhi sikap-sikap dan perilaku orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita sering mengajak dan membujuk seseorang untuk menetapkan cara-cara tertentu yang lebih menguntungkan, untuk mendengarkan musik atau isi suatu rekaman, untuk mengambil kursus tertentu, untuk menggunakan obat atau ramuan tertentu, untuk bersama-sama terlibat dalam kegiatan dan sebagainya. Upaya mempengaruhi pihak lain menjadi demikian penting bagi pengawas/penilik kependidikan yang memang tugasnya melakukan pembinaan.
4.      Untuk menghibur diri atau bermain. Kita bisa mendengarkan pelawak, pembicaraan, dan musik. Kita juga bisa menghibur orang lain, mengutarakan lelucon menceriterakan kisah-kisah yang menarik. Tujuan demikian menjadi penting manakala orang-orang sudah demikian serius dan beranjak stres dalam melaksanakan pekerjaan.

  1. Faktor-Faktor Kefektifan Komunikasi Interpersonal

Menurut Widjaja (2000) faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi interpersonal agar menjadi lebih efektif adalah :
a.       Keterbukaan
Sifat keterbukaan menunjukkan paling tidak dua aspek tentang komunikasi interpersonal. Aspek pertama yaitu, bahwa kita harus terbuka pada orang-orang yang berinteraksi dengan kita. Dari sini orang lain akan mengetahui pendapat, pikiran dan gagasan kita. Sehingga komunikasi akan mudah dilakukan. Aspek kedua dari keterbukaan merujuk pada kemauan kita untuk memberikan tanggapan terhadap orang lain dengan jujur dan terus terang segala sesuatu yang dikatakannya, demikian sebaliknya.

b.      Empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada peranan atau posisi orang lain. Mungkin yang paling sulit dari faktor komunikasi adalah kemampuan untuk berempati terhadap pengalaman orang lain. Karena dalam empati, seseorang tidak melakukan penilaian terhadap perilaku orang lain tetapi sebaliknya harus dapat mengetahui perasaan, kesukaan, nilai, sikap dan perilaku orang lain.
c.       Perilaku Sportif
Komunikasi interpersonal akan efektif bila dalam diri seseorang ada perilaku sportif, artinya seseorang dalam menghadapi suatu masalah tidak bersikap bertahan (defensif).

  1. Kelemahan Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal memiliki beberapa kelemahan dalam menyampaikan pesan dari komunikan ke komunikator. Sesuai dengan penjelasan definisi diawal bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi dua orang tatap muka yang saling bertukar informasi. Hal inilah yang menjadi kelemahan komunikasi interpersonal. Dilihat dari segi efisiensi waktu yang digunakan, bahwa komunikasi interpersonal ini sangat tidak efisien jikalau harus bertemu. Karena kesibukan seseorang dengan orang lain sangat berbeda. Memang benar komunikasi yang dilakukan dengan tatap muka secara langsung dapat mengubah perilaku, ini menjadi keuntungan dari komunikasi interpersonal. Namun, pertemuan antara dua orang atau lebih tersebut juga pasti terbatas oleh kesibukan masing-masing yang membuat mereka jarang bertemu di waktu dan tempat yang sama. Maka dari itu, efisiensi waktu menjadi kelemahan komunikasi interpersonal.
Jangkauan komunikasi interpersonal terbatas. Membutuhkan media sebagai sarana dalam berkomunikasi interpersonal. Saat ini, banyak kita lihat sarana-sarana untuk menunjang kita untuk berkomunikasi interpersonal dengan orang lain. Walaupun berbeda jarak, komunikasi dan bertukar informasi dapat berjalan. Banyak media-media yang dapat digunakan seperti Video Call yang dapat diakses melalui facebook, gmail, skype, ymail, dan media-media lainnya.
Dengan adanya video call ini dapat menjadikan komunikasi interpersonal lebih efisien. Hanya saja kendala tetap ada seperti masalah pada teknis contohnya koneksi internet yang jelek, atau gangguan lainnya yang menghambat proses komunikasi.










Daftar Pustaka
Cangara, H. (2006). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Devito, Joseph A. (1996). Human Communication. Alih bahasa oleh Maulana, Agus. (1997). Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Professional Books
Devito, Joseph A. (1992). The Interpersonal Communication Book. Sixth Edition. New York: Harper Collins Publishers
Mulyana, Deddy. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Mulyana, Deddy. (2000). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Widjaja. (2000). Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta : Rineka Cipta

The Medium; Global Technologies and Organizations

International Communication; Group 5th
Name:
1.      Cecilia Pretty G. (120904564)
2.      Kinanti Danastri E. (120904565)

On those previous chapters the major concern were focuses on ownership, content, impact, flows, and cultural issues. Somehow, the communications infrastructure or the medium left behind to the technicians and engineers. But actually without the medium, our messages –ideas, knowledge, propaganda, etc. – would not transmit effectively while our communicants were out of our range.
That’s the simple logic about communications infrastructure, but anyway the mediums were not only positioned as simple as we mentioned above. However according to Marxism Theory, people who possessing production instruments were gaining more advantages rather than ordinary people. So, basically this phrase was applied into performing good governance. 
The main content on this chapter were talking about infrastructures and not to mention the major stakeholders in its regulation inside the evolution of telecommunication system. Hence the core nations move forward into the Information Revolution, the others –semi periphery and periphery, were also struggled to chasing the sun. And as the conveyor, we proud to present our study; so let’s begin.
We know that the primary global telecommunication agency under United Nation is the International Telecommunication Union (ITU), but there are another players involved around; such as Intelsat. We’re not complete when abandoning another stakeholders which is concerning on how the communication infrastructures’ could affect the economic aspect, like World Trade Organization (WTO) and Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).    
Back of the strained situation between core and peripheral nations about NWICO, the misinterpretation over the policy lead both of them onto everlasting debate. Afterwards this war continued to another battlefield called International Telecommunication Union (ITU).
The ITU established in 1865 (previously named International Telegraph Union) under the International Telegraph Convention signed by 20 European nations in Paris, and sponsors major global conferences that look at global technical standards and other issues affecting global communication (Mc Phail, 2006; 104). The headquarters is located on Switzerland and historically, the dominating issues of the meeting were like radio microwave interference among neighboring nations, technical standards, or equipment interconnection protocols. Little attention was paid to social, cultural, or economic concerns. As the times have passed, the issues broaden into regulatory procedures for settling differences between nations and for notifying, coordinating, and registering radio frequency assignments.  
They are also authorized to set new rules concerning technical and performance standards of communication systems, including satellite issues. Therefore the new developments in communication exercise profound influence on social, cultural, economic, and political organizations, thus affecting until radically transformed the way most people live and interaction between others and it environment.
Here some ITU major sectors (Mc Phail, 2006; 107):
·         Radio communications –focuses on satellite orbit issues and the international radio spectrum;
·         Standardization –focuses on internationally compatible rules and standards;
·         Development –recently established to provide greater leadership and concern for ICT matters affecting the periphery regions;
·         ITU Telecom –leaders from government and industry working together on major policy matters. 
·         Geo-stationary orbits –the satellites were placed on equator, and some delegates from it regions above the line asked for appropriate parking spot for future parking deployment. Once again the concern is about –not to trespassing your neighbors’ area– thingy.
·         The Maitland Commission –during 1980s the ITU established Maitland Commission, chaired by Sir Donald Maitland of the United Kingdom, derive to reduce imbalance privileges of communication infrastructures among core and peripheral.
Now let’s talk about another stakeholder, Intelsat. This organization was formed in 1965 in order to provide international satellite communication services (Mc Phail, 2006; 112). Different with ITU, United Nation is only a participant on this league. Owned and controlled by 144 member nations, it provided the satellite technology necessary to complete the global communication system. Without Intelsat assist, we would not able to enjoying internet services, make telephone call, or watching our favorite television programs.
Unfortunately Intelsat became a private company since 2001 incorporated in Bermuda with Comsat General Corporation. This new consortium plans to expand the fixed satellites services beyond 200 nations and territories.
A global village with a fractured ITU or an Intelsat weakened because of privatization would set the scene for potential chaotic, conflicting and competing assignments of the international frequencies related to electromagnetic spectrum. More attention to ITU and Intelsat issues by core nations will be required because the consequences of neglect could unbalance the global economy.
Story continues to another stage created by United Nations, the World Summit on the Information Society (WSIS). We have been mentioned WSIS in the last two chapters but unclearly explained, yet left hanging with vagueness. WSIS divided into two phases, first held in Switzerland (2003), the second phase were on Tunisia (2005). Both phases coordinated by ITU.
In generality the Summit was about global approach to the impact of the Information Society. Particular attention discussions were e-learning, e-governance, e-media, and e-trade. The final goal is an action aimed at reducing the digital divided area contention.
Last but not the least is about World Trade Organization (WTO) and Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). We’ve mentioned above about organization that concerned on how the communication infrastructures’ could affect the economic aspect, so both of them were the players.
Since we already familiar with WTO stuff, better we elaborate further the OECD. Started with the goal to rebuild Europe, which is had been devastated by the war, the organization established immediately after World War II under Marshal Plan. Formed by 20 representative nations, later 10 additional members were joined. The membership is not limited for European country. Several countries from different continents also included to this “think-tank” club.
OECD members support research to develop international economic and social policy research. They investigate a broad spectrum of public issues that seek to identify the impact of national policies on the international economy, such as global trade including everything from internet.
Time passed and as a part of Information Society, we should look after this concern. Especially, monopolization of communication infrastructures by the core nations underlined into United Nations agency. Need further study for its substantial issue.

Literature:

Mc Phail, Thomas L. 2006. Global Communication Theories, Stakeholders, and Trends. Oxford: Blackwell Publishing.

Death Penalty Should be Applied

Issue about death penalty for corruptors, I think it must be release. Why? Because corruption become a habit ! Like nowadays in Indonesia, We can’t count, how many corruptors who stole people’s money. From colonialism, Soeharto’s era, and now it grow so fast and more greedy.
Hot corrupting issue is Akil Mochtar, who leading constitutional court in Indonesia. He proven receive gratification from candidates mayor Banten. Not only Akil Mochtar, before him there are a lot of name who involved in corruption circle. Example like Joko Susilo. He proven corrupt simulator SIM and has a lot of property in different city.
There are also Nazarudin, Gayus Tambunan and conglomeration in Banten Province who Ratu Atut become an actor in it. Corruption become tradition almost in every where related with money. All of that cases, make our country famous because of corruption.
We can see from that issues, Indonesia become the most corrupt country in the world. Depend on Transparency International, Indonesia at the fifth rank corrupt country in the world. How ashamed I am!
According to that data’s. I agree with death penalty issue! Why? Because if the root  of corruption didn’t pull out, it will still corrupt and become deep rooted. So, death penalty should be applied in Indonesia. However, this issue have been applied in China and Vietnam.
As We know that, Indonesia have corruption legislation UU no 31 tahun 1999. In this regulation explain how long a corruptor will be in jail according how much money taken by them. For example depend on that regulation, subsection 11 says “will be jailed minimum one year, maximum five years or criminal fines minimum 50 million, maximum 350 million civil servants or state officials who received gratification related from their authority.”
Based on that regulation, it is not suitable in this era. Because as if we seeing now, many corruptors corrupt more than written in that regulation. What does it mean? It means, our regulation need an amendment. And I think, death penalty for corruptors more horrible, and make them frightened to be corruptor.

Another effort to eradicate corruption are increasing morality and also integrity in every people. We can start it from the kids and be continued step by step. And we hope our next generations will be a leader who have a good mentality and morality to lead our beloved country.